Tuesday, August 16, 2005

Good Cop - Bad Cop Blackmail on Aceh: The Advantages of Seeming Crazy

The TNI - POLRI is now saying that they have about 35,000 men in Aceh, which, if true, would mean that under the Helsinki deal with GAM signed yesterday they will be temporarily withdrawing about 32% of their troops, not much more than a normal rotation.

It is often said that there are more TNI - POLRI bases than there are schools or mosques in Aceh, and traveling along the roads and counting suggests that in many zones that might well be true. In populated areas of the main Medan - Banda Aceh road one encounters a marked base or post every few hundred meters, not including the unmarked Intel and Kopassus bases, which are sometimes known to residents. In Langsa, plainclothes Kopassus officers can be seen smoking in their undershirts outside a run-down commercial building where local civil servants have been dragged in and had their faces mauled on suspicion of giving food to GAM.

The Kopassus men have money and are wordly; they move all over the archipelago, and their foreign trainers have included Americans, Australians, Germans, and Taiwanese. But it is the TNI's cruder street level militias -- not counted in official troop numbers -- that are now in the spotlight since people fear that if the Jakarta generals don't get enough payoff from the GAM surrender deal, they may unleash the militias in order to provoke the GAM into taking up arms again.

That scenario may be unlikely, but everyone knows from experience in Timor and elsewhere that it is not impossible, and that hanging possibility of supra-normal terror creates leverage for TNI - POLRI, both within Aceh and in their lobbying for restored aid overseas.

It is a classic good cop - bad cop con: the smooth lobbyists (like the President, Gen. Susilo, and Juwono Sudarsono, the defense minister) say to the foreigners: 'Look, these generals are crazy! You'd better buy them off with aid, or God know what they'll do. And as much as I'd like to stop them I can't be responsible for their actions. '

So on top of the continuing rule by their oppressors there's an implicit blackmail hanging over Aceh: if the generals don't get what they want -- like restored US guns and money -- they may take it out on Aceh and burn it, as they did to Timor in 1999.

Kejelasan tercapai, Penindas bertahan di tempat: kesepakatan yang melucuti senjata sepihak di Aceh

Hari ini (15 Agustus 2005), Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Indonesia. Dengan ini mereka sepakat untuk meletakkan senjata dan menerima amnesti, uang dan tanah pertanian. Mereka akan diizinkan membentuk partai politik lokal dan sebagai imbalannya, membuat janji politik untuk diam: dalam hukum Indonesia, partai ini tidak akan diizinkan untuk menganjurkan apa yang selama ini menjadi pendiriam GAM-kemerdekaan untuk Aceh, atau sekurang-kurangnya pemilihan melalui referendum mengenai kemerdekaan.

TNI-POLRI, yang telah membunuh jutaan warga sipil Aceh (GAM juga melakukan pembunuhan, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil), sementara akan menarik beberapa pasukannya, tetapi dalam jangka panjang berhak untuk mengirimnya kembali ke Aceh sekehendaknya karena Jakarta tetap menjadi penguasa di Aceh.

Sekarang pun, dalam bulan-bulan transisi mendatang, ketika beberapa ratus monitor asing akan hadir, pasukan-pasukan dari satuan-satuan militer dan polisi yang dikenal paling ganas masih berada di Aceh: operator-operator Intel yang menyelenggarakan rumah-rumah penyiksaan, personel Angkatan Udara yang telah menjatuhkan bom di desa-desa, dan BRIMOB yang melakukan penculikan dan perkosaan di berbagai checkpoint boleh tetap di sana selama secara teknis diklasifikasi sebagai unsur-unsur "organik." Dan di luar butir-butir formal kesepakatan ini-sebagaimana diakui baik oleh aktivis maupun kalangan militer-Kopassus, pasukan khusus yang dilatih oleh AS, pasukan yang paling ditakuti, juga tetap berada di Aceh, bergerak secara terselubung dan menerapkan "taktik dan teknik" dengan "menteror" dan "penculikan", seperti dicantumkan dalam salah satu pedoman pelatihan rahasia mereka (Buku Petunjuk tentang Sandi Yudha TNI AD, Nomor: 43-B-01).

Kesepakatan ini disajikan sebagai penarikan TNI dan kesepakatan perdamaian untuk Aceh. Tetapi sesungguhnya kesepakatan ini tidak memenuhi kedua butir tersebut - TNI-POLRI akan bertahan di Aceh dan berhak mempertahankan senjata dan menggunakan sekendaknya -dan mereka yang selama ini merupakan pelanggar perdamaian utama, melakukan sebagian besar pembunuhan warga sipil, penyiksaan, pembakaran, perkosaan, penghilangan, pencurian, pemerasan dan penahanan tanpa dasar hukum.

Namun kesepakatan ini memang membawa perubahan besar karena mematikan langkah GAM dan dengan demikian membantu memperjelas situasi: sekarang tak dapat disangkal lagi bahwa keadaannya ialah TNI-POLRI versus warga-warga sipil. Inilah yang senantiasa menjadi inti kehidupan politik di Aceh modern, yang tidak dilihat dunia luar karena GAM secara sia-sia menembaki penindas dan mengalihkan perhatian pihak luar (yang memang sudah seadanya saja) dari pembunuhan warga-warga sipil yang dilakukan TNI-POLRI.

GAM pantas mendapat pujian karena meletakkan senjata. Seharusnya sudah lama mereka melakukannya. Selama ini mereka hanya memperburuk permasalahannya, dan sekarang mereka telah pergi dan berbagai peluang terbuka. Namun, tindakan menegasi diri itu tidak boleh disalah-artikan sebagai penyelesaian masalah Aceh, dan yang secara de facto menjadi janji tutup mulut juga tidak boleh disalah-artikan sebagai sikap yang berlaku bagi masyarakat Aceh sebagai keseluruhan.

Pada bulan November 1999, masyarakat Aceh menyelenggarakan demonstrasi besar yang, dilihat secara proporsional merupakan salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah dunia. Mungkin seperempat penduduk Aceh memasuki Banda Aceh dan secara damai menyuarakan tuntutan untuk referendum. TNI-POLRI yang tidak cukup mengantisipasi kejadian ini, menghancurkan gerakan warga sipil ini karena tahu bahwa meski mereka tidak akan kalah secara militer dalam perang tembak-menembak melawan GAM, mereka mungkin sekali kalah secara politik apabila dunia sempat mendengar suara-suara damai Aceh itu.

Hal itu tidak terjadi. Jafar Siddiq Hamzah, suara internasional Aceh saat itu, yang telah memberi kesaksian di Kongres AS, disiksa hingga mati ketika pulang (jenazahnya ditemukan bulan September 2000). Suara-suara lain dibunuh, ditahan atau menjadi eksil, dan baru dengan tsunami bulan Desember 2004, untuk pertama kalinya dunia mulai mengetahui Aceh.

Secara legal dan militer, orang-orang Aceh masih tersubordinasi seperti dahulu. Meskipun kesepakatan perdamaian memuat dua rujukan pada perjanjian-perjanjian PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan membentukan institusi lokal seperti pengadilah HAM (tanpa wewenang yang tercantum secara khusus), hukum-hukum represif yang mengikat semua orang Indonesia juga masih berlaku bagi orang Aceh. Dan, lebih penting lagi, TNI-POLRI-yang secara efektif masih berdiri di luar hukum-masih menduduki wilayah Aceh.

Namun, dilihat secara dingin dan pragmatis, dengan tersisihkannya GAM, ada peluang bagi suara-suara perlawanan yang meski masih tertindas mungkin bisa menjadi produktif secara politis. Muhamad Nazar, aktifis sipil yang paling dikenal-yang dinilai terlalu besar untuk dibunuh-dipenjarakan karena menganjurkan referendum dalam pidatonya di desa. Ada berita informal bahwa ia akan dibebaskan, tetapi apabila ia menyampaikan isi pidato yang sama, ia bisa dipenjarakan sekali lagi-atau mengalami nasih yang lebih buruk. Tetapi dalam masa paska-GAM ini, akan terbuka kemungkinan bahwa pengorbanan seperti itu akan menarik perhatian luar yang berarti.

Perhatian seperti itulah yang memungkinkan Timor Timur memperoleh kemerdekaannya dalam kondisi yang berbeda. Tetapi bagi Aceh, hal itu lebih sulit karena secara historis Aceh menjadi bagian Indonesia (dan sudah berdiri bahkan sebelum ada Indonesia), sementara Timor Timur merupakan wilayah asing yang di-invasi oleh Indonesia dengan dukungan AS pada tahun 1975. Kehilangan sepertiga dari penduduknya dalam pembantaian oleh TNI-POLRI tidak menghasilkan apa-apa bagi masyarakat Timor sampai pada pembantaian Dili tahun 1991 menarik perhatian luar dan pengakuan bahwa ini merupakan kasus pembunuhan kaum sipil oleh militer yang tidak dapat dibenarkan.

Aceh merupakan kasus serupa, dan orang-orang Aceh juga banyak yang mati sia-sia. Kalau mereka terus berbicara menuntut referendum, kemungkinan besar mereka akan terus mati, tetapi sekarang mungkin mereka bisa memperoleh sesuatu dari pengorbanan itu karena situasi tidak lagi ditutupi kabut konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan GAM, sehingga represi sepihak yang dilakukan TNI-POLRI akan menjadi gamblang.

Yang mungkin mereka peroleh ialah publisiti yang melemahkan TNI/POLRI dan aparat pemerintahan Indonesia yang umumnya represif. Dan pelemahan seperti itu merupakan satu-satunya harapan akan tercapainya demokrasi, kebebasan ataupun keadilan di Aceh dan di Indonesia secara keseluruhan. Tetapi institusi-institusi represif itu hanya akan menjadi lemah kalau bisa dicegah penggunaan kesepakatan ini oleh AS, Eropa, Australia dan kekuatan-kekuatan luar lain untuk berusaha memaksakan pengembalian militer dan/atau menambah bantuan asing bagi militer dan polisi. Dapat dikatakan bahwa dihentikannya bantuan militer atas desakan akar-rumput membuka jalan untuk berakhirnya pendudukan Timor Timur, dan sebelum itu, jatuhnya Jend. Suharto, diktator yang didukung AS.

Jadi, apakah kesepakatan ini membantu atau merugikan akan banyak tergantung juga pada perilaku pihak-pihak luar, dan justru risiko-risiko dan kerumitan seperti ini yang menyebabkan beberapa orang jenderal TNI-POLRI enggan menerimanya. Banyak liputan pers dan spekulasi akar-rumput di Aceh berpusat pada apakah TNI-POLRI dan, bisa juga dikatakan pejuang lapangan GAM, akan mematuhi kesepakatan. Bagi banyak orang GAM, kesepakatan ini merupakan obat yang pahit. Merekalah, dan bukan pembunuh-pembunuh berskala besar, yang harus meletakkan senjata, melepaskan tujuannya dan merendahkan diri di hadapan negara musuh. Tetapi pada saat yang sama mereka akan memperoleh amnesti dan di atas kertas akan bebas pulang ke rumah masing=masing. Bagi TNI-POLRI, nampaknya sebagai kemenangan: mereka memperoleh senjata api dan hak untuk berkuasa, sementara Aceh memperoleh bendera lokal. Tetapi konflik dengan GAM ini sangat menguntungkan jenderal-jenderal Jakarta karena telah memberi pembenaran pada dominasi mereka di Indonesia dan menjadikan banyak jutawan. Mudah sekali melihat kenapa banyak di antara mereka akan menyesal dengan perginya GAM yang bersenjata.

Tetapi Presiden Indonesia, Jend. Susilo Bambang Yudhoyono-yang melakukan supervisi pada represi dan darurat militer di Aceh di bawah Presiden yang lalu, Megawati Sukarnoputri-mempunyai pandangan yang lebih strategis. Ia nampaknya menyadari bahwa meskipun TNI membutuhkan perang bersenjata dua pihak untuk membenarkan dirinya pada masyarakat Indonesia, TNI tidak membutuhkan konflik bersenjata lebih banyak lagi. (Baru-baru ini militer mengirim 15.000 pasukan Kostrad dan Kopassus ke Papua yang sangat tertindas, di mana terdapat gerakan perlawanan bersenjata ringan, dan militer masih memprovokasi kekerasan Muslim lawan Kristen di kepulauan utara Indonesia tengah), dan bahwa hilangnya uang surplus yang dapat dicuri dari Aceh sebagai zona perang bisa diimbangi dengan uang yang dapat dicuri dari penambahan bantuan tsunami, serta kekuasaan yang dapat diperoleh kembali oleh TNI-POLRI secara keseluruhan dengan bantuan militer dan polisi dari luar. (Militer dan polisi juga bisa berharap akan melanjutkan proyek-proyek gelapnya di Aceh dan Sumatra Utara, termasuk penebangan ilegal, ganja, prostitusi, hijacking, pemerasan, "keamanan" dan landasan perikanan lepas pantai yang menggunakan anak-anak yang dipaksa kerja). Jend. Susilo juga yang mengatakan bahwa "menuntut referendum" di Aceh "dianggap sebagai tindak pidana melawan negara" (Jakarta Post, 24 Desember 2003), dan prinsip itu masih akan dipaksakan dengan kekerasan, tetapi nampaknya ia berharap bahwa kesepakatan ini sekarang memungkinkan pihak luar negeri melihat bahwa Jakarta telah berubah.

Kalau ternyata Jend. Susilo benar, dan bahwa kesepakatan ini membawa sumberdaya dan kekuatan baru bagi TNI-POLRI, maka keluhan jenderal-jenderalnya tidak akan berakar, dan kesepakatan ini akan menjadi malapetaka bagi Indonesia dan Aceh. Tetapi para petinggi militer sekarang masih mempunyai alasan kedua untuk prihatin: seorang penasihat bagi Yusuf Kalla, wakil presiden Indonesia yang juga seorang pengusaha, yang merupakan pemain utama di balik kesepakatan aceh, secara pribadi mengatakan bahwa sekarang Kalla juga akan menjadi broker finansial bagi perjanjian perdagangan senjata internasional yang baru (penasehat ini mengatakan bahwa perjanjian perdagangan paska Aceh sekarang telah muncil dengan Eropa, Cina dan Israel, antara lain), peran menguntungkan yang secara tradisional dimainkan oleh jenderal-jenderal purnawirawan TNI dan POLRI.

Pada saat ini ditulis-beberapa jam sebelum penandatanganan kesepakatan di Helsinki, Finlandia-orang-orang berkumpul di masjid-masjid dan gereja di Aceh dan berdoa secara publik untuk perdamaian, dan mungkin berdoa secara pribadi untuk kebebasan dan keadilan. Kesepakatan ini tidak akan mengantarkan hal-hal ini. Mereka masih divonnis hidup di bawah penindasan. Tetapi kesepakatan ini juga mengacak situasi yang lalu dan membuka peluang kecil yang, kalau mereka masih berani mengangkat suara, kali ini, kalau mereka ditembaki atau dibelenggu, ada seseorang di luar yang mungkin mendengarnya.