Wednesday, March 24, 2010

Assassination Interview Censored by METRO TV, Indonesia.

This afternoon METRO TV, a major Indonesian news channel, invited me to come on the air live for 30 minutes at 8pm tonight WIB (Western Indonesia Time) to discuss my recent report on political assassinations by the country's US-backed armed forces (TNI).

I agreed, and when we went on the air, by phone, shortly after 8pm, I urged viewers to go to this website to read the full, detailed report and then began to name the names of TNI people implicated in the killings.

Within a couple of minutes I was pulled off the air. A producer came on the phone and acknowledged that I had just been "censored."

The producer then sent a text message saying: "Really sorry Allan. Suddenly I have a policy from my boss." I asked on the phone what that sudden policy was but the producer would not say. They said there were too many other METRO TV employees within earshot to speak freely about the matter.

As it happens, before being cut-off, I had only named the names of the low-level killers in one of the murders (Tumijan, see posting of March 21, 2010 for details). Who knows what would have happened if I had started out by naming Generals?

This censorship is especially revealing since part of the TNI's strategy in trying to defuse my report is to say generally that it has no specifics, no facts. But when I give them, they pull the plug.



Bahasa Indonesia Translation of this Posting:

News & Comment (www.allannairn.com)
Rabu, 24 Maret 2010

Wawancara Tentang Pembunuhan di Sensor Oleh METRO TV, Indonesia

Sore ini, METRO TV, sebuah stasiun TV berita swasta di Indonesia,
mengundang saya untuk siaran langsung selama 30 menit pada jam 8
petang (WIB) untuk mendiskusikan laporan terakhir saya tentang
pembunuhan-pembunuhan politik yang dilakukan oleh TNI, angkatan
bersenjata yang didukung pemerintah AS.

Saya setuju. Ketika diskusi lewat telpon itu berlangsung, sedikit
setelah pukul 8 malam, saya meminta pemirsa untuk membaca langsung
laporan tersebut di website. Kemudian saya mulai menyebutkan nama-nama
personil TNI yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Dalam beberapa menit saya diputuskan dari siaran langsung tersebut.
Produser acara tersebut kemudian menelpon dan mengakui bahwa saya baru
saja “disensor.”

Produser tersebut kemudian mengirim teks SMS yang berbunyi: “Maaf
sekali Allan. Tiba-tiba saja ada kebijakan dari boss saya.” Saya
bertanya lewat telpon apa sebenarnya yang menjadi kebijakan tersebut
tetapi produser tersebut tidak mau mengatakannya. Ia mengatakan bahwa
disana ada terlalu banyak karyawan METRO TV yang lain yang mungkin
menguping sehingga sulit bagi dia untuk bicara secara bebas tentang
soal sensor itu.

Sebelum dipotong, saya hanya sempat menyebutkan beberapa nama
orang-orang bawahan yang melakukan pembunuhan (Tumijan, lihat posting
tanggal 21 Maret, untuk lebih mendetail). Siapa yang bisa menduga apa
yang akan terjadi bila saya menyebut nama Jendral-jendral yang
terlibat?

Penyensoran ini menunjukkan bahwa bagian dari strategi TNI untuk
membantah laporan saya adalah dengan mengatakan laporan tersebut tidak
berdasarkan fakta, tidak spesifik. Namun ketika saya berikan
fakta-fakta tersebut, mereka malah menyensornya.





NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below.

NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages.

NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below.

Email Me

Note: Indonesian translation of assassinations story is below. Below that is English language statement in response to threat by Indonesian military

Email Me

TNI, Kopassus, Terlibat Pembunuhan Militer Yang Akan Dibantu Obama Membunuh Aktivis Aceh 2009

Oleh Allan Nairn

www.allannairn.com

Menurut beberapa pejabat Indonesia, kepolisian, dan catatan pemerintah: Tentara Nasional Indonesia, dengan dukungan Amerika Serikat, dan kini menunggu pencairan kembali training AS terhadap Kopassus, telah membunuh sejumlah aktivis pada 2009.

Pembunuhan-pembunuhan ini adalah bagian dari program rahasia pemerintah, didukung oleh Jakarta, dan sebagian dikoordinasi seorang Jendral Kopassus didikan AS. Ia mengakui anak buahnya di TNI memang memegang peranan dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut.
Berita ini muncul saat Presiden Barack Obama mempersiapkan pengumuman akan mengubah kebijakan lama pemerintah AS --yang ditetapkan Konggres AS karena tekanan dari akar rumput-- tentang pembatasan jenis-jenis bantuan AS terhadap TNI. Sejak zaman Perang Dingin, ketika TNI menerima pelatihan dari AS, mereka juga membunuh ratusan ribu rakyat sipil di Indonesia.

Informasi bahwa TNI masih membunuhi warga sipil bisa jadi masalah bagi Presiden Obama karena rationale dia membuka kembali bantuan adalah: TNI tak lagi membunuh rakyat Indonesia. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton bilang pada Konggres bahwa masalahnya apakah ada pembunuhan baru, namun, pada kenyataannya pembunuhan belu berhenti: TNI tetap melakukan pembunuhan politik.

Seorang pejabat Indonesia, yang kerapkali bertemu dengan para petinggi TNI dan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan pembunuhan tersebut didukung dan disahkan “petinggi-petinggi di Jakarta.” Dia memberikan keterangan detail tentang hal ini: nama korban, metode dan nama-nama pelaku. Dia mau bicara karena dia tak setuju dengan pembunuhan ini. Namun dia menolak disebut nama karena kuatir akan jabatan serta keselamatan pribadi.

Keterangan yang dikutip di laporan ini juga dibenarkan oleh beberapa pejabat lain, termasuk beberapa perwira senior POLRI. Sebagian juga diakui oleh seorang Jendral Kopassus yang membantu operasi pembunuhan ini.

Dari detail yang saya ketahui, sejauh ini, menyangkut serangkaian pembunuhan dan pengeboman di Aceh menjelang pemilihan umum 2009 dan Partai Aceh (PA) ikutan. Partai Aceh adalah partai politik bentukan dari Gerakan Aceh Merdeka.

Setidaknya, delapan aktivis PA dibunuh menjelang pemilihan umum April lalu. Pembunuhan-pembunuhan ini, menurut sumber-sumber tersebut, dilakukan guna meresahkan para pendukung PA dan menekan partai tersebut agar tak membicarakan isu kemerdekaan bangsa Aceh. Keputusan ini berlaku tidak saja di Aceh tapi juga wilayah lain, di seluruh Indonesia, dimana materi kampanye pemilihan umum dilarang bicara soal separatisme, berdasarkan petunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Seorang aktivis, Tumijan, umur 35, buruh perkebunan sawit di Nagan Raya, diculik dan mayatnya ditemukan dua hari kemudian di sebuah sungai. Lehernya digorok, tubuhnya dicincang, dan terikat oleh kabel listrik. Mayatnya muncul dekat pos TNI. Beberapa anggota keluarga menuduh aparat keamanan sebagai pelaku. Karenanya mereka menerima ancaman pembunuhan dari orang-orang, yang tidak mereka kenal.

Seorang aktivis PA yang lain, Dedi Novandi, umur 33, sedang duduk dalam mobil di luar rumahnya ketika kaca mobil dibuka paksa oleh seseorang berpakain sipil. Dia mengeluarkan pistol dan menembakkan dua peluru ke kepala Dedi alias Abu Karim.

Seorang pejabat POLRI, yang tahu detail pembunuhan ini, menyebutnya sebagai pembunuhan professional, yang memakai orang-orang yang telah terlebih dahulu mengawasi gerak-gerik Abu Karim.

Beberapa jam sebelumnya, Abu Karim menerima delegasi dari sebuah organisasi yang didanai Bank Dunia. Kepada delegasi ini, Karim menyatakan, keprihatinan terhadap pembunuhan yang terkait dengan pemilihan umum, pembakaran dan serangan granat terhadap kantor-kantor PA.

Tak lama setelah pembunuhan, BBC datang ke tempat kejadian perkara. Koresponden BBC, Lucy Williamson dengan mengutip seorang tetangga Karim mengatakan, “… aneh bahwa polisi tak bisa menemukan orang yang membunuh [Abu Karim]. ‘Mungkin karena tidak ada saksi,” ujarnya. “Saya pikir, sebetulnya aneh juga kalau tidak ada saksi, tapi apa yang bisa saya bilang? Setiap orang mengatakan bahwa mereka tidak menyaksikan apapun.”

“Di dalam rumah,” lanjut Williamson, “Istri Abu Karim, Cut Dede, dengan gelisah memandang putra mereka, yang berumur empat tahun. Seperti banyak orang di sini dia tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa ini adalah pembunuhan politik.”

Nyatanya, menurut seorang pejabat senior dan beberapa orang lain yang mengkonfirmasinya, pembunuhan terhadap Tumijan dan Abu Karim adalah bagian dari pembunuhan terencana yang dilakukan oleh TNI dengan koordinasi Pangdam Aceh Mayor Jendral Sunarko.

Sunarko dikirim ke Aceh oleh Presiden SBY setelah sebelumnya jadi Komandan Kopassus. Sebelumnya, Sunarko adalah Kepala Staff Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, yang memiliki batalion di seluruh kepulauan Indonesia dan bermarkas di Jakarta. Tepatnya, dekat Istana Merdeka. Sunarko menduduki posisi kunci ini setelah menangani milisi di Timor Timur. Ia jadi komandan intelijen Kopassus disana pada saat operasi teror TNI di tahun 1999, operasi pembakaran dan pembunuhan massal para pendukung kemerdekaan Timor Leste.

Pembunuhan terhadap aktivis PA tahun 2009 terjadi di seluruh Aceh. Pembunuhan terhadap Abu Karim di Bireuen, diakui seorang pejabat pemerintah, diatur oleh Jendral Sunarko dan dilaksanakan oleh Letkol R. Suharto, komandan Kodim Biereun, dengan memakai beberapa perwira TNI dan bantuan milisi sipil Forum Komunikasi Anak Bangsa (FORKAB) dan Pembela Tanah Air (PETA).

Letkol R. Suharto telah lama bekerja pada BAIS, lembaga intelijen strategis TNI, yang memainkan peranan integral dalam pembunuhan terencana di seluruh Indonesia dan terkenal karena pembunuhan dan penyiksaan di Timor Timur, dan saat ini, di daerah pendudukan de facto Papua.

Ketika saya tanyakan kepada beberapa perwira POLRI tentang Letkol Suharto dan pembunuhan Abu Karim, ia jadi sangat gugup, seperti para tetangga yang dikutip aporan BBC.
Mereka enggan membicarakan peran yang mereka lakukan, kecuali secara pribadi. Kami kemudian memulai rekaman dan saya bertanya apakah Letkol Suharto, yang sesungguhnya menjalankan operasi pembunuhan terhadap Abu karim dan beberapa pembunuhan lain? Saya juga bertanya lebih jauh apakah Letkol Suharto adalah salah satu dari orang yang melakukan “operasi hitam” yang pada saaat itu masih berjalan? Perwira POLRI itu tidak menyangkal apapun dan hanya mengatakan, “Saya tidak bisa memberikan komentar tentang hal itu” dan bersikeras agar namanya tak disebut.

Pada hari Jumat, 19 Maret, sekitar jam 10:30 malam, saya menelepon Letkol Suharto ke telepon genggamnya.

Tidak ada jawaban dan lantas saya kirim SMS, yang dijawabnya dengan pertanyaan siapa yang mengirim SMS ini. Saya memperkenalkan diri dan kami mulai percakapan lewat SMS yang baru berakhir setelah tengah malam. Di tengah-tengah SMS tersebut saya berusaha meneleponnya lima kali, namun setiap kali ia hanya membiarkan teleponnya berdering.

Lewat SMS, Letkol Suharto bertanya saya ada di mana dan lantas bagaimana saya mendapat nomor teleponnya. Ia juga bertanya mengapa saya ingin bicara sama dia. Saya jawab ingin mendiskusikan pembunuhan aktivis PA, termasuk Abu Karim. Suharto menjawab bahwa itu urusan polisi. Saya tanyakan apakah TNI yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Letkol Suharto menjawab tidak! Lalu saya bertanya lagi lewat teks, ”Apakah ini berarti Anda tahu siapa pembunuhnya?” Ia juga menjawab tidak. Lantas saya melanjutkan, "Jadi, bagaimana Anda tahu kalau TNI tidak terlibat?”

Saat itu, Letkol Suharto memutuskan komunikasi telepon. Saya berusaha menelepon tapi hanya mendengar rekaman suara perusahan telepon. Saya kemudian mengirim SMS lagi dan bertanya apakah dia, Letkol Suharto, “terlibat dalam pembunuhan Abu Karim, atau pembunuhan para aktivis PA lainnya.” Sinyal dari perusahan telepon mengindikasikan bahwa pesan SMS itu diterima dengan baik, namun hingga saat ini, 51 jam kemudian, Letkol Suharto tidak menjawab.
Beberapa anggota milisi juga mengatakan bahwa orang-orang Letkol Suharto-lah yang membakar dan melempar granat ke kantor-kantor PA.

Namun ini hanyalah bagian kecil dari operasi gelap tersebut.

Di Nagan Raya, di bagian lain dari Aceh, penculikan dan pembunuhan Tumijan dilakukan oleh tim TNI lainnya, juga bekerja di bawah Jendral Sunarko. Ini menurut beberapa pejabat, termasuk dari POLRI, dan sebagian, menurut Jendral Sunarko sendiri.

Dalam kasus pembunuhan Tumijan, barang bukti yang ada tidak hanya pernyataan-pernyataan dari kalangan dalam pemerintahan sendiri, tetapi juga bukti serangkaian penahanan sejumlah pelaku, yang merupakan bawahan Jendral Sunarko.

Pejabat senior Indonesia, yang pertama kali bicara tentang program pembunuhan ini, mengatakan bahwa Tumijan diambil dan dihabisi oleh sekelompok prajurit muda Kopassus dan beberapa serdadu lain, sebagaimana dalam kasus Abu Karim, juga menggunakan milisi ciptaan TNI. Ia memberi nama-nama dari kalangan tentara yang terlibat, macam Kapten Wahyu dan Oktavianus serta milisi seperti Muhyari, Supardi, Kadir, Herwan, M. Yasin, Suprayogi, Tahmid, dan Suparno.

Ia mengatakan orang-orang lapangan yang terlibat telah ditahan secara rahasia selama beberapa bulan sebagai buah kesepakatan politik rahasia antara POLRI, TNI dan para pejabat, yang secara tidak sengaja, mengetahui beberapa aspek program pembunuhan TNI, yang sampai saat ini, masih rahasia.

POLRI, demikian katanya, setuju untuk menahan anggota-anggota milisi. Polisi militer mengambil dua tentara, dan pejabat yang tahu akan operasi tersebut, setuju untuk tak membeberkannya pada publik dan pihak POLRI pun tidak pernah mengumumkan penahanan ini. POLRI berusaha secara hukum memproses anggota milisi tersebut.

Lebih penting lagi, hanya mereka yang menjadi pelaksana langsung yang ditahan. Para perwira yang lebih senior dibiarkan bebas dan melanjutkan operasi.

Perwira kepolisian yang berbicara kepada saya membenarkan keterangan pejabat senior ini. Namun mereka melakukan ini dengan rasa segan luar biasa, bahkan ketakutan. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak mau mengejar “para petinggi yang ada di Jakarta,” atau Jendral Sunarko --atau bahkan Letkol Suharto yang hanya komandan Kodim Biereun.

Secara umum di Indonesia, POLRI juga membunuh dan menyiksa warga sipil, dan terlibat dalam operasi bersama polisi, tapi mereka juga bersaing secara kelembagaan, berebut lahan, uang, dan kekuasaan. Sekalipun POLRI tampaknya lebih berotot sesudah jatuhnya Presiden Soeharto 1998, TNI masih memiliki lebih banyak senjata dan uang. Mereka juga tak memiliki beban hukum seperti POLRI, karena POLRI harus menegakkan hukum atas pembunuhan.

Kamis 18 Maret lalu, saya menelepon Kapolda Aceh Ispektur Jendral Adityawarman ke telepon genggamnya. Awalnya dia berkata bahwa dia hanya akan bicara secara pribadi, berhadapan muka, dan kemudian berusaha menghentikan pembicaraan. Namun ia mengakui --untuk pertama kalinya secara publik-- bahwa para pelaku pembunuhan Tumijan telah ditahan.
Ketika saya tanyakan padanya apakah benar bahwa Jendral Sunarko yang merancang pembunuhan aktivis-aktivis tersebut, Jendral Aditya bilang, “Saya tidak dalam kapasitas untuk mengemukakan informasi itu,” dan tiba-tiba menutup telepon.

Pada hari Jumat, saya menghubungi Jendral Sunarko pada telepon genggamnya dan menanyakan padanya tentang pembunuhan para aktivis. Sunarko mengakui bahwa bawahannya di TNI ada yang memiliki peranan dalam pembunuhan tersebut.
Tetapi ia mengatakan bahwa pembunuhan oleh perwira dan prajurit TNI tidak sepenuhnya bisa digolongkan pada tindakan resmi TNI “sebagai sebuah institusi.” Jendral Sunarko luar biasa tenang.

Meski belum sepenuhnya menjadi pengetahuan umum, ia tahu tentang penahanan bawahannya dalam kasus pembunuhan Tumijan (Jendral Sunarko mengangkat masalah ini sebelum saya menanyakannya). Ia mengindikasikan bahwa ia tak kuatir akan langkah-langkah berikutnya dari POLRI atau dari kekuasaan lainnya.

Jendral Sunarko tampaknya sangat akrab dengan pembunuhan Tumijan, dan mengatakan bahwa Kapten Wahyu dan Oktavianus, dua perwira yang ditahan, sebelumnya bahkan di markas Kodam Iskandar Muda di Banda Aceh.

Ketika saya tanyakan secara khusus apakah dia, Jendral Sunarko, terlibat dalam beberapa pembunuhan itu, ia menjawab enteng, ”Itu mesti pekerjaan orang gila,” katanya, ”dan saya belum gila.”

Ketika saya tanyakan tentang komandan Kodim Biereun Letkol Suharto, ia bilang kenal dengan Suharto. Namun saat saya tanyakan apakah Letkol Suharto yang melakukan pembunuhan terhadap Abu Karim. “Saya tidak tahu,” jawab Jendral Sunarko, “jika itu terjadi, saya pasti tahu,” tandasnya.

Sebelum saya sampai kepada masalah pembunuhan, Jendral Sunarko juga mengatakan bahwa dia mendukung rencana Presiden Barack Obama untuk segera melatih Kopassus dan TNI pada umumnya.

Sunarko mengatakan bahwa AS dan TNI telah lama memiliki hubungan yang sangat dekat dan Amerika telah “meningkatkan kapasitas TNI.” Pemulihan bantuan oleh Obama akan bikin “persahabatan makin akrab.”

Jendral ini juga bilang dia sendiri adalah kawan dan pengagum tentara AS, setelah menerima berbagai macam latihan dari AS di berbagai tempat di Indonesia sejak tahun 1980.
Sunarko menyebut beberapa nama kursus, dalam bahasa Inggris, serta kesatuan militer AS yang memberikannya. Ia bilang pelatih militer Mobile Training Teams (MTTs) dari Pusat Komando di Pasifik (PACOM, di Hawaii) melatihnya dalam “Jungle Warfare” dan “Logistics.” Ia bilang pelatihannya di Amerika meliputi pelatihan khusus pada tahun 1994 dan 1998, dan kawan-kawannya satu pelatihan berasal dari Kopassus dan Kostrad. Jendral Sunarko mengatakan bahwa latihan terakhirnya dengan AS terjadi pada 2006, ketika dia menjadi Kepala Staf Kostrad, sebelum menjadi komandan Kopassus.

Sunarko juga menyatakan bahwa pelatihan itu baik untuk Amerika juga karena memungkinkan TNI dan militer AS untuk “saling belajar satu sama lain” dan membuat AS “mendapatkan apa yang diperlukan” dari TNI.

Hari ini, Presiden Obama sedianya berangkat ke Indonesia, namun kunjungan ditunda. Sebuah paket bantuan besar untuk TNI masih dikaji dan dirundingkan dalam beberapa bulan ke depan. Sebuah titik yang akan memperbaharui bantuan terbuka untuk Kopassus.

Sekalipun setiap unit TNI, dan juga POLRI, pernah dinyatakan terlibat dalam pembunuhan massal, Kopassus adalah unit yang paling dipuji bersama Letnan Jendral Prabowo Subianto, bekas komandan Kopassus, yang didikan AS. Kopassus secara historis paling dekat dengan Washington. Karenanya, wajar bila hal yang paling menjengkelkan buat TNI adalah ketika para aktivis Amerika --termasuk saya-- berhasil menekan Konggres untuk memutuskan bantuan AS kepada Kopassus pada 1990an.

Obama berencana memberikan training itu kembali kepada Kopassus dan sekarang merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu TNI sebagai pembenaran terhadap teror yang mereka lakukan. Bagi mereka yang selamat dari teror TNI, pembukaan kembali bantuan militer bisa diartikan sebagai lampu hijau bagi TNI untuk melakukan lebih banyak teror.
Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan pembunuhan-pembunuhan lain yang dilakukan oleh TNI, program pembunuhan terencana yang saya ungkap ini melibatkan berbagai macam komponen TNI di luar Kopassus: BAIS dan jaringan komando lokal seperti KODAM, KOREM, KODIM, dan semua jajaran ini memberi laporan kepada komandan TNI di tingkat nasional dan “para petinggi di Jakarta” lainnya.

Dan mereka tak peduli apakah AS akan memberikan kembali bantuan kepada Kopassus, TNI secara keseluruhan telah mendapatkan lampu hijau.

Menurut Departemen Pertahanan Indonesia, sekarang ada 2.800 anggota TNI sedang dilatih di Amerika Serikat dan Pentagon di bawah Presiden Obama mendorong penjualan senjata dan peralatan militer, serta pemberian pinjaman, yang secara keseluruhan akan memperkuat kembali TNI [lihat laporan Olivia Rondonuwu dan Ed Davies berjudul “Interview --Indonesia Seees U.S. Lifting Military Training Ban” dimuat di Reuters 4 Maret 2010].

Namun, Kopassus, tentu saja, kesatuan yang paling penting dan memiliki simbol pemulihan hubungan penuh AS-Indonesia.

Dalam perundingan pemberian bantuan antara Presiden Obama dan TNI, selama 10 hari bulan ini, komandan Kopassus Mayor Jendral Lodewijk F. Paulus datang ke Washington dan disambut oleh tim Obama. Di Indonesia, selama pembicaraan Washington berlangsung, seorang anggota Kopassus, dengan rasa sangat percaya diri berusaha naik pesawat komersial dari Banda Aceh, sambil membawa sepucuk pistol dengan peredam suara --senjata pembunuh yang klasik. Ini menarik perhatian seorang pejabat Indonesia, yang menceritakan kejadian itu kepada saya, karena satu korban di Aceh tampaknya telah dieksekusi dengan mempergunakan pistol berperedam suara. Pembunuhan dilakukan malam hari dan teman sekamar korban tidak terbangun.


Seorang petugas keamanan airport, anggota Angkatan Udara, menyita pistol anggota Kopassus tersebut, namun serombongan Kopassus mendatangi dan memaksanya mengembalikan pistol itu.


NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below.

NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages.

NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below.

Email Me