Tuesday, June 24, 2014

"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo, "apa saya siap jika disebut 'diktator fasis'?"

22 Juni 2014

Oleh Allan Nairn

Tangal 9 Juli, Indonesia, negeri dengan kepadatan penduduk berperingkat keempat sedunia, akan mengadakan pemilu. Pemilu kali ini berpotensi menaikkan Jenderal (purn) Prabowo Subianto ke kursi kepresidenan.

Jenderal Prabowo, kakak kandung seorang milyarder, adalah bekas menantu dari diktator Suharto. Orang yang dilatih oleh dan mendapat sokongan dari Amerika ini terlibat dalam kasus-kasus penyiksaan, penculikan, dan pembantaian massal.

Pada bulan Juni dan Juli 2001, saya berbincang-bincang dengan Prabowo. 

Kami berjumpa di kantor perusahaannya di Mega Kuningan, Jakarta.

Saya menawarkan kepadanya wawancara anonim (tanpa nama). 

Waktu itu saya tengah menyelidiki sejumlah kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru itu. Ia rupa-rupanya melibatkan tentara Indonesia. Saya berharap pembicaraan off-the-record antara saya dan Jendral Prabowo bisa mengungkap detail dari kasus-kasus tersebut. 

Awalnya saya kecewa. Prabowo hampir tidak memberikan keterangan yang membantu mengenai pembunuhan-pembunuhan itu . 

Namun akhirnya kami malah mengobrol selama nyaris empat jam. 

Kesan yang saya tangkap waktu itu, Prabowo mengeluarkan komentar-komentar yang tidak bersangkutan. 

Prabowo berbicara tentang fasisme, demokrasi, kebijakan membunuh dalam tubuh TNI/ABRI, serta hubungan antara dirinya dengan Pentagon dan Intelijen Amerika yang sudah berlangsung lama dan tertutup.

Di masa itu, ia sama sekali tidak berkuasa dan terisolir secara politis. Jenderal-jenderal lain adalah ancamannya.

Namun karena saat ini Prabowo nyaris merebut kekuasaan, saya kembali memeriksa catatan-catatan wawancara saya.  Saya jadi sadar bahwa apa yang ia katakan pada waktu itu menjadi relevan di saat ini.

-----

Saya telah mencoba menghubungi Jenderal Prabowo. Saya ingin meminta izin untuk membahas komentar-komentarnya di muka publik. Saya tidak mendapat balasan dan saya pun memutuskan untuk meneruskan rencana tersebut. 

Saya pikir kerugian yang saya hadapi ketika melanggar anonimitas yang saya janjikan ke Prabowo, tidak sebanding dengan kerugian yang lebih besar jika rakyat Indonesia pergi ke tempat pemungutan suara tanpa mengetahui fakta-fakta penting yang selama ini tidak bisa mereka akses.

-----

Saat itu saya dan Prabowo berdiskusi panjang tentang pembantaian Santa Cruz.  

Dalam pembantaian tersebut, militer Indonesia membunuh setidaknya 271 penduduk sipil.  

Kejadiannya berlangsung pada 12 November 1991 di Dili, di sebelah luar area pemakaman yang dipadati laki-laki, perempuan dan anak-anak.  Di tahun itu, Timor-Timur masih merupakan wilayah yang diduduki oleh militer Indonesia. 

Kebetulan saya ada di sana ketika pembantaian itu terjadi. Saya selamat.  

Prabowo mengatakan kepada saya bahwa perintah membunuh itu "goblok" [“imbecilic”]. (Dia katakan bahwa ia sempat mengira perintah tersebut datang dari Jenderal Benny Murdani, tapi ia sendiri tidak yakin.)

Keberatan Prabowo bukan pada kenyataan bahwa militer Indonesia telah membunuh warga sipil, tapi pada fakta  bahwa pembunuhan tersebut dilakukan di hadapan saya dan saksi-saksi lainnya yang bisa melaporkan kasus tersebut dan menggerakan suara dunia internasional. 

“Santa Cruz mematikan kami secara politis!” suara Prabowo meninggi. “Di situlah kekalahan kami” [“Santa Cruz killed us politically!,” Prabowo exclained. “It was the defeat!”].

“Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional,” ujar Jenderal Prabowo. “Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibukota provinsi!” [“You don’t massacre civilians in front of the world press,” General Prabowo said.  “Maybe commanders do it in villages where no one will ever know, but not in the provincial capital!”].

Pernyataan tersebut jadi semacam pengakuan bahwa militer terbiasa melakukan pembantaian. Pernyataan itu juga membuktikan bahwa Prabowo tidak berkeberatan jika pembantaian dilakukan di tempat-tempat yang  “tak diketahui siapapun” [“where no one will ever know”].

Pada bulan September 1983, serangkaian pembantaian serupa terjadi di desa terpencil Kraras yang terletak di  gunung Bibileu, Timor Leste.

Di kemudian hari, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur yang disokong PBB (CAVR) melaporkan pembantaian Kraras:

"421. Komisi menerima bukti bahwa Prabowo ditempatkan di sektor bagian timur Timor-Leste saat itu. Beberapa sumber menyatakan kepada Komisi bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk membawa penduduk sipil turun dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama kemudian beberapa ratus orang dibunuh ABRI. Komisi juga menerima bukti keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan-pembunuhan ini (lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan Penghilangan Paksa).” 

Seiring Suharto terus menaikkan pangkat Prabowo, komando-komando sang jenderal kian nyata jejaknya dalam sejumlah pembantaian massal lainnya.  Salah satunya adalah pembantaian massal di Papua Barat. Dalam kasus tersebut, para anak buah Prabowo menyamar sebagai anggota Palang Merah Internasional (ICRC). Operasi rahasia ini juga terdengar sampai Jakarta, kota dimana mereka menghilangkan aktivis-aktivis pro-demokrasi.  

-----

Fakta bahwa saya dan Prabowo sepakat untuk duduk bersama pun agak ganjil.  

Saya sendiri sebelumnya telah menyerukan agar Prabowo diadili dan dipenjarakan bersama-sama para sponsor Amerika-nya. Saya juga ikut serta menggalang kampanye di akar rumput guna  menuntut pemerintah AS memutus bantuannya kepada militer Indonesia. Kampanye ini berhasil. Saya dilarang masuk ke Indonesia, karena dinyatakan sebagai "ancaman bagi keamanan nasional", sementara para anak buah Jenderal Prabowo telah menyiksa teman-teman saya. 

Tapi bagi saya pribadi, saya telah berhitung dengan cermat bahwa pembicaraan bersama Prabowo tidak akan sia-sia, jika kasus-kasus pembunuhan yang masih segar kala itu terbantu pemecahannya. 

Saya tak tahu persis apa gunanya perbincangan tersebut untuk Prabowo. Namun, saya mendapat kesan bahwa ia menikmati kesempatan untuk membicarakan profesinya, serta bertukar pikiran dengan seorang musuh.  

-----

Saat itu, dua tahun setelah Soeharto jatuh, Indonesia memiliki presiden sipil. 

Abdurrachman Wahid, dikenal sebagai Gus Dur, adalah seorang ulama yang secara hukum dinyatakan buta.

Militer Indonesia merongrong otoritas presiden Gus Dur. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah memfasilitasi serangan-serangan teror antar-etnis/agama di Maluku. Tiga minggu setelah pertemuan kedua saya dengan Prabowo, Gus Dur diberhentikan dan digulingkan dari kursi presiden. 

Kini Gus Dur seringkali dikenang dengan sukacita. Bahkan kampanye Prabowo pun memanfaatkan rekaman video pembicaraan Gus Dur.  

Namun dalam perbincangan tersebut, di hadapan saya Prabowo tak henti-hentinya mengecam Gus Dur dan demokrasi. 

“Indonesia belum siap untuk demokrasi,” kata Prabowo. "Di negara kami ini masih ada kanibal, masih ada kerumunan yang bikin rusuh"  [“Indonesia is not ready for democracy,” Prabowo said. “We still have cannibals, there are violent mobs.”].

Indonesia perlu, lanjut Prabowo, "rezim otoriter yang jinak" [“a benign authoritarian regime”].  Ia katakan bahwa keragaman etnis dan agama adalah penghalang demokrasi.

Mengenai Gus Dur, Prabowo mengatakan: 

"Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja!" [“The military even obeys a blind president!  Imagine!  Look at him, he’s embarrasing!”].

"Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda, ganteng—dan sekarang presiden kita buta!" [“Look at Tony Blair, Bush, Putin.  Young, ganteng (handsome) -- and we have a blind man!”].

Prabowo menginginkan sosok yang berbeda. 

Dia menyebut Jenderal Pervez Musharraf dari Pakistan. 

Musharraf telah menangkap perdana menterinya yang sipil dan mendirikan kediktatoran. Prabowo menyatakan kekagumannya pada Musharraf. 

Prabowo kelihatan berpikir keras apakah dirinya sesuai dengan sosok yang ia bayangkan.  Apakah ia mampu menjadi Musharraf-nya Indonesia. 

"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo, "apa saya siap jika disebut 'diktator fasis'?" [“Do I have the guts,” Prabowo asked, “am I ready to be called a fascist dictator?”].

"Musharraf punya nyali," kata Prabowo. [“Musharraf had the guts,” Prabowo said.]

Terkait dirinya sendiri, Prabowo membiarkan pertanyaan tersebut tak terjawab. 

  

Bersambung ke Bagian 2: “Prabowo: ‘Saya anak kesayangan Amerika’ ['I was the Americans' fair-haired boy'] Sang Jenderal Nasionalis dan Intelijen Amerika

Link to view this post in English

Link to view "A Response and Several Challenges to General Prabowo"
Link to view "Tangappan dan Beberapa Tantangan Saya untuk Jenderal Prabowo"
Link to view "Breaking News: Indonesian Special Forces, Intelligence, in Covert Operation to Influence Election"
Link ke "Breaking News: Operasi Rahasia Kopassus dan BIN Untuk Mempengaruhi Hasil Pemilu"

Link ke "SIKAP KELUARGA KH ABDURRAHMAN WAHID MENGENAI KONTROVERSI WAWANCARA BP. PRABOWO SUBIANTO YANG DIANGGAP HINA GUS DUR"



NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below. NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages. NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below. Email Me