1 Juli 2014
Oleh Allan Nairn
Ketika kami bertemu di Jakarta pada 21 Juni dan 2 Juli 2001, Jenderal Prabowo berbicara panjang lebar tentang kerja-kerjanya bersama dan untuk Amerika Serikat.
Kepada saya Prabowo berkata, "Saya anak kesayangan Amerika."
Ia mengatakan bahwa dirinya "berkawan baik" dengan intelijen Amerika, melapor kepada mereka "mungkin seminggu sekali atau lebih." Ia juga mengaku berperan sebagai perantara pesan dari Amerika ke Suharto. Bahkan ia membantu pasukan Amerika masuk ke Indonesia untuk menggelar latihan militer Pentagon mempersiapkan “rencana siaga (contigency plan) untuk memasuki Indonesia”, atau “serangan siaga (the invasion contingency).”
Namun saat kami berbincang, visa Prabowo baru saja ditolak Amerika.
Perasaan pahit dalam dirinya sangat terasa waktu itu.
Mudah untuk mengetahui apa sebabnya.
Selama bertahun-tahun menyiksa dan membantai, Prabowo telah melayani kepentingan Washington. Amerika membekingi dia dengan sponsor, senjata, dan pujian publik.
Prabowo bukan saja satu-satunya seorang perwira Indonesia yang paling mendapat pelatihan intensif dari AS. Sejauh yang saya ketahui, Prabowo sekaligus binaan (protege) Washington, mungkin binaan yang paling dekat dengan Washington dalam tubuh TNI/ABRI. Sebagian besar kekuasaan Prabowo didapatnya dari fakta bahwa ia orang Washington sekaligus orang Suharto.
Namun begitu kalah dalam persaingan internal militer tahun 1998, seketika itu pula AS mencampakkannya dan beralih pada musuh bebuyutan Prabowo (Wiranto). Sementara kini AS kerap mengkritiknya atas kejahatan-kejahatan yang ia lakukan dengan dibekingi AS, dan lebih dari itu, mempermalukan Prabowo dengan menolak visanya.
Ketika Prabowo mengeluh pada saya tentang betapa loyalnya ia semasa mengabdi ke Washington, jelas bahwa ia tidak membesar-besarkan ucapannya. Ia sekadar mengungkap kenyataan.
----
Prabowo mengatakan bahwa ia "selalu merasa bersama AS. Kebiasaan ini saya dapat dari keluarga saya.”
Meski sebelumnya menjabat menteri di pemerintahan Sukarno, presiden pertama Indonesia, ayahanda Prabowo terlibat dalam operasi yang dibekingi CIA untuk menggulingkan Sukarno.
Prabowo mengatakan bahwa ia tumbuh bersama sentimen antikomunis ala Amerika dan bahwa ia mendukung Amerika untuk kasus-kasus seperti invasi ke Kamboja dan Afghanistan.
Tanggal 17 Juli 2013, dalam pidatonya di hadapan pejabat pemerintah dan pemimpin korporasi AS, Hashim Djojohadikusumo, sang milyarder, mengatakan:
"Prabowo sangat pro-Amerika. Ia duduk di bangku SMA Amerika, sekolah dasar Amerika. Saya mau mengatakan, seumur hidupnya ia mengenyam pendidikan di sekolah Amerika. Ia masuk Kopassus, [dilatih] di Fort Benning, Fort Bragg. Saya juga pro-Amerika. Baru-baru ini saya menanam modal besar-besaran di California, di bisnis minyak. "
Hashim berjanji, jika Prabowo menjadi Presiden Indonesia: "Ya, Amerika Serikat akan menjadi mitra yang istimewa dalam pemerintahan Gerindra.”
(GERINDRA adalah partai politik Prabowo yang didanai diantaranya oleh Hashim. [lihat tautan video, 56:32])
Dua bulan sebelum pertemuan perdana kami, saya menyaksikan Prabowo berbicara di hadapan pertemuan investor dan elit militer Amerika dan Indonesia (Van Zorge conference, 2001). Pidatonya disambut meriah oleh hadirin.
Prabowo mengaku memegang teguh doktrin dua jenderal Amerika di era Perang Sipil, William Tecumseh Sherman dan Ulysses S. Grant (yang kelak menjadi presiden). Dalam perang, kedua jenderal memakai taktik yang sesekali memakan banyak korban warga sipil.
"Saya lebih tahu sejarah Amerika daripada sejarah Indonesia," tuturnya.
-----
Ketika kami berbincang, saya terkejut oleh emosi Prabowo manakala ia membicarakan Amerika.
Dengan amarah yang kian memuncak, Prabowo bercerita tentang bagaimana kawan-kawannya sesama perwira Indonesia sering mengejeknya, menyebut dirinya "perwira Amerika" karena kedekatannya yang luar biasa dengan AS.
Ia menjelaskan bahwa mereka mengolok-olok dirinya –serta memberi isyarat dia kurang jantan-- karena bahasa Inggris Prabowo sangat bagus dan ia sering menghabiskan waktunya bersama orang asing.
Prabowo mengatakan bahwa ia "sangat akrab dengan DIA (Defense Intelligence Agency, Badan Intelijen Pertahanan AS) sejak era George Benson."
Selama sekian dekade, Benson keluar-masuk Indonesia untuk kepentingan intelijen AS.
Benson bekerjasama dengan elemen-elemen ABRI dalam operasi penggulingan Sukarno yang dibekingi AS, menyediakan bantuan intelijen Amerika untuk serbuan ke Padang, Sumatra Barat, tahun 1958. (Lihat "In memoriam: George Benson: a true friend of Indonesia").
Kelak, Benson secara efektif menggelar operasi-operasi terselubung anti-Sukarno yang melibatkan ABRI dan AS. Operasi-operasi ini berlangsung menjelang penggulingan Sukarno, di tengah pembantaian massal yang dibekingi AS dan menelan koran ratusan ribu warga sipil Indonesia (Lihat "Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia," studi monumental tentang yang diantaranya membahas peranan Benson dan Amerika).
Berkat prestasinya selama di Indonesia, Kolonel Benson masuk ke dalam jajaran orang kondang di DIA.
Setelah pensiun dari DIA, Benson mewakili Pertamina di Washington dan menjadi promotor utama masuknya korporasi Amerika ke Indonesia. Tahun 1994, Benson, lingkaran Prabowo, serta para tokoh bisnis, diplomatik, dan intelijen Amerika turut mendirikan United States-Indonesia Society (USINDO). Fungsi USINDO adalah melawan gerakan-gerakan akar rumput yang menuntut pemerintah AS memutus bantuan militernya ke ABRI (saya sangat terlibat di dalam gerakan tersebut). USINDO juga giat mempertahankan kepentingan korporat AS di Indonesia, misalnya perusahaan tambang raksasa Freeport McMoRan.
Sumitro (ayahanda Prabowo) dan Hashim (adik Prabowo) duduk di dewan USINDO. USINDO bahkan mendirikan sebuah perkumpulan sebagai penghormatan untuk Sumitro. Perusahaan-perusahaan yang selama ini menyokong USINDO termasuk Lippo Group, Freeport McMoRan, Texaco, Mobil, Raytheon, GE, Hughes Aircraft and Merril Lynch. Melalui istrinya, Titiek, yang tak lain adalah putri Suharto, Prabowo dikabarkan mulai terjun ke bisnis bersama Merril Lynch.
Di hadapan USINDO inilah Hashim berpidato di tahun 2013 di Washington. Dalam pidato itu, ia berjanji pemerintahan Prabowo kelak akan memperlakukan AS sebagai "mitra istimewa." (lihat tautan di atas).
-----
Prabowo menceritakan kepada saya bahwa "ia rutin berhubungan lewat telepon dengan intel Amerika, McFertridge, dan lain-lainnya, mungkin seminggu sekali atau lebih."
Yang ia sebut McFertridge ini merujuk kepada Kolonel Charles D. (Don) McFetridge, orang DIA. McFertridge adalah salah seorang penerus Kol. George Benson di Indonesia dan menjabat Atase pertahanan Amerika di Jakarta (1994-98).
McFertridge juga berhubungan langsung dengan Kol. Chairawan, komandan Grup 4 Kopassus yang saat itu dikepalai Prabowo. Informasi ini didapat dari sejumlah wawancara saya dengan Chairawan dan para pejabat AS.
DIA bekerjasama dengan Prabowo dan Chairawan, khususnya ketika mereka terlibat dalam penculikan, penyiksaan dan pembunuhan aktivis-aktivis Jakarta (1997-98).
Tiga belas orang yang diculik itu masih hilang. Diduga telah meninggal.
Salah seorang kepala tim kampanye Prabowo, Jenderal Kivlan Zen, mengatakan bahwa ia tahu dimana mayat para korban penculikan itu dikubur.
Kol. McFertridge, yang pernah mengajar di Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), kemudian turut mengurusi keamanan untuk raksasa migas multinasional, British Petroleum (BP), khususnya pada proyek ekstraksi gas BP-Tangguh di Papua Barat.
----
Prabowo mengatakan kepada saya bahwa ia tidak berhubungan dengan CIA, tapi DIA.
Ia jelaskan bahwa kerjasama CIA adalah dengan BAKIN, yang melapor secara langsung ke panglima angkatan bersenjata.
Prabowo menekankan, dalam militer Indonesia, rasa hormat terhadap orang-orang DIA adalah wajar. "Jika seorang atase AS menghubungi kepala staff ABRI dan ingin mengadakan pertemuan, pertemuan itu akan terselenggara."
Prabowo mengatakan, sedemikian besar kepercayaan AS kepada dirinya sehingga mereka menggunakannya untuk menyampaikan pesan ke sang mertua, Suharto.
Ia mengatakan, pada satu momen ketika pergolakan tahun 1998 yang sukses melengserkan Suharto memuncak, para rekanan Amerika membisikkan kepada Prabowo bahwa pemerintah AS telah mengambil sikap: Suharto tak berguna lagi.
Ia mengisahkan, ia menemui Suharto dan menyampaikan pesan bahwa AS "tidak lagi bersama Anda."
Namun, lanjut Prabowo, Suharto menjawab: "Tidak, Amerika masih bersama saya. Orang [Washington] DC baru saja kemari dan memberi tahu saya."
Menurut Prabowo, saat itu Suharto "marah dan mengusir saya."
Keterangan Suharto maupun Prabowo kemungkinan sama-sama benarnya.
Seiring Suharto kehilangan kekuasaan untuk bertindak represif, AS pun beralih mencampakkannya, seperti yang telah mereka lakukan terhadap banyak pemimpin negara lainnya.
Hanya saja kali ini, Amerika menarik dukungan tersebut dengan perasaan pahit dan disertai pula dengan perpecahan di kalangan pejabat militernya.
Sangat masuk akal seandainya Prabowo dan Suharto masing-masing menerima pesan yang berbeda dari orang Amerika yang berbeda.
----
Penuturan Prabowo kepada saya tentang hubungannya antara dirinya dan intelijen Amerika sesuai dengan keterangan yang saya dapatkan langsung dari sejumlah pihak.
Saya tulis dalam laporan saya selama krisis 1998: "Seperti yang digambarkan salah seorang pejabat kedutaan kepada saya, ketika penculikan para aktivis sedang gencar-gencarnya berlangsung: “Prabowo anak kesayangan kami; ia orang yang tak mungkin melakukan kesalahan.” (The Nation [AS], edisi 15 Juni 1998, artikel ini diterbitkan di bulan Mei).
Pada tanggal 26 Mei 1999, dalam sebuah wawancara di kediamannya di Jakarta, salah satu arsitek mesin intelijen Indonesia, Laksamana Sudomo, bekas pangkokamtib-nya Suharto yang juga dilatih AS, menyatakan pada saya bahwa "Prabowo juga menjalin hubungan intelijen yang erat dengan AS." (Untuk latar belakang wawancara ini, lihat posting saya tanggal 7 Desember 2007, "Imposed Hunger in Gaza, The Army in Indonesia. Questions of Logic and Activism.").
Namun pekerjaan Prabowo untuk AS jauh melampaui urusan intelijen. Seperti Prabowo gambarkan pada saya, ia pernah bekerjasama dalam aksi-aksi militer AS, termasuk membawa pasukan AS ke wilayah Indonesia.
Pernyataan-pernyataan Prabowo sepenuhnya sesuai dengan dokumen-dokumen internal Pentagon dan Departemen Luar Negeri AS, yang diantaranya memberikan sandaran atas klaimnya bahwa ia telah memfasilitasi perencanaan invasi Amerika.
Dokumen-dokumen tersebut juga mengindikasikan sesuatu yang tidak disebutkan Prabowo pada saya: bahwa Pasukan Khusus AS yang dibawa masuk oleh Prabowo melakukan setidaknya dua operasi rahasia di Indonesia yang dideskripsikan Pentagon di hadapan Kongres AS sebagai "[Beberapa] Aktivitas terpisah .... [dan] dirahasiakan."
Dokumen-dokumen itu juga memperjelas bahwa, dari kacamata pemerintah AS, Pentagon memanfaatkan Prabowo untuk melemahkan kaum nasionalis Indonesia.
----
Sepanjang kolaborasinya bersama AS yang berlangsung selama karir Prabowo di kemiliteran, seringkali Prabowo ditangani secara langsung oleh pejabat-pejabat Pentagon dari anak tangga kekuasaan tertinggi di AS.
Termasuk diantaranya, Sekretaris Pertahanan (Secretary of Defense), Panglima Komando Pasifik (Pacific Commanders in Chief) dan Panglima Operasi Khusus AS (US Special Operations Commanders).
Saya melaporkan di tahun 1998: "Meskipun kegemaran pribadi Prabowo melakukan kekejaman sudah melegenda (seorang Timor Timur menceritakan pada saya bahwa kaki dan giginya pernah dibikin diremuk oleh Prabowo), para pejabat tinggi AS tetap menyanjung-nyanjung dia ketika krisis di Indonesia semakin parah awal tahun ini. Pada bulan Januari, Sekretaris Pertahanan AS William Cohen memuji KOPASSUS sebagai kesatuan yang “sangat mengesankan … disiplin.” (The Nation [AS], edisi 15 Juni 1998, artikel ini diterbitkan di bulan Mei).
Ketika itu saya menulis: "[Cohen] terang-terangan menolak untuk menghimbau ABRI agar menahan diri dalam berurusan dengan demonstrasi-demonstrasi di jalan. Ditanya tentang keseluruhan pesan yang disampaikan dalam kunjungan-kunjungan tersebut, salah seorang pejabat mengatakan, '[Pesannya] sederhana saja. AS dekat dengan militer [Indonesia] dan mencintainya.' Asisten Sekretaris Negara AS, Stanley Roth, baru-baru ini sering makan malam [bersama Prabowo]. Ketika Sekretaris Cohen melawat ke sini, ia membuat semua orang di Jakarta curiga karena main ke markas KOPASSUS dan menghabiskan tiga jam bersama Prabowo..." (The Nation [AS] edisi 30 Maret 1998).
Sebuah buku yang ditulis oleh Dana Priest, jurnalis Washington Post yang mewawancarai para perwira AS yang bekerjasama dengan Prabowo, mengatakan bahwa Prabowo "menjadi dikenal di kalangan korps diplomatik di Jakarta sebagai 'orangnya Washington di Indonesia.'"
Priest melaporkan bahwa di masa mudanya Prabowo "dengan cepat menjadi orang favorit militer Amerika, yang darinya ia meraih pengalaman dan penghargaan."
Priest mengisahkan ulang sebuah cerita tentang bagaimana Prabowo menyambut secara meriah seorang komandan AS yang berkunjung (Commander in Chief of the US Pacific Command [CINCPAC], Laksamana Joseph Prueher) dengan menggelar unjuk kebolehan spesial ala Kopassus untuk menghormatinya:
"Prabowo mengakhiri satu mata acara untuk ... Prueher dengan pasukan [Prabowo] berbaris berjajar menyanyikan versi Indonesia dari lagu Divisi Udara ke-82 Amerika. "Gejolak adrenalin di barisan kursi terdepan sangat terasa, kata seorang pengamat. Prueher senang dan gembira " (Dana Priest, “The Mission: Waging War and Keeping Peace with America's Military," Norton, 2004.)
Cerita ini contoh menarik, Prabowo mengatakan pada saya bahwa ada orang-orang Pentagon lain dengan hubungan lebih dekat dengan Prabowo dari sekedar Prueher.
Satu orang komandan lagi yang ia catat adalah CINCPAC yang bertugas antara Maret 1991-Juli 1994, Laksamana Charles R. Larson, yang kelak menjabat direktur Northrop Grumman Corporation. Prabowo bahkan menuturkan gosip internal Gedung Putih -Pentagon tentang Laksamana Larson, yang menyatakan bahwa Larson tengah diperhitungkan untuk mengisi posisi CNO [Panglima Operasi Angkatan Laut AS, posisi tertinggi dalam tubuh Angkatan Laut AS], tetapi malah menjadi komandan Annapolis [akademi kadet Angkatan Laut AS]."
----
Ketika hubungan AS-Prabowo masih hangat, tindakan Prabowo menunjukkan dirinya sebagai--seperti yang kelak dikemukakan Robert Gelbard (mantan Duta Besar AS untuk Indonesia)-- "mungkin pelanggar hak asasi manusia paling buruk dalam tubuh militer Indonesia. Kelakuannya pada akhir 1990an, sebelum demokrasi mulai dipakai di Indonesia, sangat mengejutkan bahkan menurut standar TNI." (wawancara Radio Australia, 16 Juli 2008).
Namun di saat Prabowo betul-betul melakukan tindakan-tindakan tersebut, Washington baik-baik saja dengan hal itu.
Menurut apa yang dikatakan pejabat-pejabat AS ke Prabowo maupun kepada Kongress pada waktu itu, Jenderal Prabowo melakukan tindakan-tindakan persis seperti yang diinginkan Washington dia lakukan.
Duta besar AS di Indonesia sebelum Gelbard—orang yang ada di sana ketika Prabowo masih punya kekuatan dan masih merupakan antek Washington, Stapleton Roy—menulis sebuah kabel pada tahun 1996 (Jakarta 08651, R 0161039Z Dec96) yang menyatakan bahwa Prabowo adalah seorang murid teladan.
(Murid lain yang mendapat pujian adalah Jendral Hendropriono, yang terseret kasus pembantaian aktivis-aktivis Muslim Lampung pada tahun 1989. Ia juga memimpin unit intelijen yang bertanggungjawab atas pembunuhan pahlawan hak asasi manusia, Munir. Hendropriono sekarang menjadi tim kampanye lawan Prabowo, Jokowi.)
Ajaibnya, kabel diplomatik AS memutarbalikkan fakta dalam operasi Prabowo di Papua untuk menyanjung-nyanjung Jendral tersebut. Dalam kasus itu, pasukan Prabowo menyamar menjadi Palang Merah untuk melakukan pembantaian warga sipil (baca laporan lengkap tentang kejadian tersebut yang ditulis oleh Edmund McWilliams. Dia atase politik di kedutaan Amerika dan menulis investigasi dia sesudah pensiun dari dinas pemerintahan AS).
Kabel-kabel Roy menyanjung Prabowo karena telah “menjaga disiplin dan ketenangan,” “mendapat ... pujian” untuk episode Palang Merah dan “memelopori pelatihan tambahan mengenai hak azasi manusia untuk bawahannya.”
Kabel itu berpendapat bahwa, dengan melatih Prabowo dan perwira-perwira seperti dia, AS mendapat keuntungan besar dalam—salah satunya—menjinakkan nasionalisme angkatan bersenjata.
Kabel itu juga mengatakan: “lulusan-lulusan IMET dari Indonesia pulang dengan mengamini apa yang kita, orang-orang Amerika, perjuangkan dan memusuhi apa yang kita musuhi.”
IMET adalah salah satu program Pentagon yang diikuti Prabowo. Program itu adalah program pertama yang diluncurkan akar rumput AS, melalui Kongres, untuk memutus hubungan sejak pembantaian Dili di Timor Timur pada tahun 1991 (lihat tulisan pertama dalam serial Prabowo).
Kabel diplomatik AS berlanjut:
“Perwira ABRI didikan lokal tidak cukup memahami nilai-nilai kita, kurang yakin terhadap argumen-argumen kita, dan kurang responsif terhadap kebijakan-kebijakan kita ... lulusan IMET menduduki jabatan penting dalam ABRI. Ketika hubungan kita mulai tertekan, alumni terkemuka dari program IMET-AS yang menolak untuk ikut menyerukan ‘usir orang-orang Amerika.’ Kita berhasil mendapatkan akses dan pengaruh melalui lulusan IMET ini ... dalam beberapa tahun ke depan transisi kekuasan besar akan terjadi di Indonesia. Militer akan menjadi faktor penting dalam perubahan itu, entah dengan mengambil peran latar untuk mengamankan situasi, atau sebagai pemain yang aktif. Di Indonesia, terutama angkatan bersenjata, terdapat perdebatan internal yang mengerucut dalam dua faksi. Faksi pertama adalah progresif, terdidik, dan tercerahkan ... dan kedua cenderung tertutup, etnosentrik, anti-Barat. Kelompok kedua ini percaya bahwa pendidikan dan pelatihan luar adalah pengaruh buruk. Kita bisa mempengaruhi perdebatan tersebut untuk kepentingan jangka panjang kita,”—yakni, dengan mendukung Jenderal-Jenderal seperti Prabowo, serta memfasilitasi tindakan-tindakan “menakjubkan” yang ia lakukan.
-----
Ucapan Prabowo pada saya—serta rekam jejaknya—menjadi sangat menarik apabila disejajarkan dengan klaim-klaim yang ia buat dalam kampanye sebagai calon presiden.
Kali ini, Prabowo mencalonkan diri sebagai seorang nasionalis yang dengan lantang menolak tunduk pada Amerika.
Prabowo adalah “yang paling berani melawan intervensi Amerika Serikat,” demikian pendapat Amien Rais, salah satu pendukung utama Prabowo. (“Amien Rais: Hanya Prabowo Yang Berani Lawan Amerika”).
(Pada Maret 1998, Amien Rais dan saya memberi kesaksian di hadapan Kongres AS, dalam sidang Kaukus Kongresional untuk Hak Azasi Manusia. Pada waktu itu, Amien Rais menganggap Prabowo bertanggungjawab atas hilangnya sejumlah aktivis Jakarta. Pada tahun 2009 pers Australia mengutip Rais yang menggambarkan Prabowo sebagai “kriminal”. [The Australian Financial Review; Rabu, 25 Februari 2009; “Outsider Prompts ‘general’ Unease”; oleh Angus Grigg]).
-----
Prabowo bilang pada saya bahwa ia sangat dekat dengan Pasukan Khusus AS, tim komando yang melakukan invasi dan penyusupan di seluruh dunia.
Penonjolan Prabowo juga didukung oleh berjibun informasi publik. Buku Dana Priest, misalnya, menulis bahwa “Para bos dari Komando Operasi Pasukan Khusus AS sangat kasmaran dengan prajurit-prajurit Prabowo. Jendral Wayne Downing, yang memimpin komando tersebut pada tahun 1993-1996, ikut berparasut bersama Kopassus.” Pada tahun 1996, Priest menulis bahwa Prabowo “adalah bintang dalam Konferensi Operasi Khusus Komando Pasifik [AS] di Hawaii.”
Prabowo mengatakan pada saya bahwa ia punya andil dalam mendatangkan Pasukan Khusus AS ke Indonesia, sebagian besar melalui JCET, program Gabungan Pertukaran Pelatihan Bersama (Joint Combined Exchange Training) dari Pentagon.
Setelah Kongres AS menghentikan pelatihan IMET untuk ABRI pada tahun 1992, Pentagon menggunakan skema pendanaan JCET untuk melakukan latihan militer di Indonesia tanpa sepengetahuan Kongres.
JCET Indonesia dihentikan dengan tiba-tiba pada 8 Mei 1998. Kongres murka setelah mendapati laporan saya dengan East Timor Action Network (ETAN)(kelompok akar rumput yang saya bantu dirikan) tentang keadaan di sana serta mengungkap dokumen-dokumen JCET dengan bantuan almarhum Wakil Kongres AS Lane Evans. (Lihat NY Times, “US Training of Indonesia Troops Goes On Despite Ban ,""Pentagon Documents Show Indonesian Military Training Continues Despite Congressional Ban," "Indonesia's Killers," (The Nation [AS], terbit 30 Maret 1998), “Statement by Allan Nairn on the suspension of US military training aid to Indonesia.”
Setelah konferensi pers peluncuran dokumen-dokumen itu—yang berpusat pada latihan-latihan JCET dengan Kopassus Prabowo—saya ditahan dan diinterogasi pasukan keamanan Suharto.
Saya ingat, setelah interogator membanting berkas intel saya di atas meja, ia bersikap tenang ketika saya menuduh Suharto-ABRI-Prabowo-AS bertanggungjawab atas pembantaian massal. Ia tiba-tiba marah ketika saya membicarakan korupsi yang dilakukan Suharto.
JCET berkembang lebih dari IMET, yang mengirim orang-orang seperti Prabowo ke AS untuk melakukan pelatihan sebagaimana Prabowo dapatkan di Fort Bragg, Carolina Utara (Rangkaian Pelatihan Pasukan Khusus Tentara AS, 1980; Fort Bragg adalah pangkalan udara 82d, Prabowo memperkenalkan unit AS tersebut dengan memerintahkan Kopassus untuk menyanyikan lagu tempur 82d dalam bahasa Indonesia [lihat atas]) dan Fort Benning, Georgia (Kursus Perwira Infantri Tingkat Lanjut AS, US Advanced Infantry Officers Course, 1985).
Untuk JCET, sejumlah besar tentara bersenjata lengkap AS pergi ke Indonesia dan, satu dari banyak hal, melakukan latihan bersama ABRI dalam berbagai hal, termasuk Operasi Militer di Medan Urban (Military Operations in Urban Terrain, MOUT), Teknik Penembak Jitu Tingkat Lanjut (Advanced Sniper Technique), serangan udara, serangan darat, serangan laut, pengintaian, Senjata Bio-Kimia Nuklir (Nuclear Chemical Bioogical, NBC), Pencari Ranjau Tempur, “keahlian penyergapan”, bahan peledak dan penghancuran, serta Operasi Psikologis (PSYOPS).
Setidaknya terdapat 41 latihan. Berkas-berkas tersebut merinci aktivitas dalam grup Kopassus 1 sampai 5. Unit utama yang memimpin mereka adalah Grup Pasukan Khusus Pertama AS, tapi ada juga yang lain, termasuk Marinir AS.
Hal ini jelas merupakan dukungan penting AS untuk Suharto, Prabowo, dan ABRI.
Hal ini jadi gamblang sejak tentara AS ada di tanah Indonesia selama ABRI melakukan hal-hal mengerikan, termasuk hilangnya para aktivis dan penembakan warga sipil dalam perlawanan terhadap Suharto. Tentara Amerika berlatih bersama dan membantu unit-unit ABRI yang terlibat dalam kejahatan-kejahatan ini, termasuk Kopassus, KOSTRAD, Kodam Jaya dan lain-lainnya.
Namun Prabowo menekankan satu hal pada saya: manuver-manuver yang ia rencanakan bersama tentara Amerika punya sisi lain.
Selain membantu AS melabuhkan diktator dan jendral kesayangannya, mereka juga membantu AS mendapatkan apa yang ia inginkan di Indonesia.
Prabowo bilang bahwa sebagian besar JCET ada untuk AS—terutama Pasukan Khususnya—“untuk mengintai, berlatih untuk invasi siaga.”
Prabowo bilang: “Mereka melakukan pengintaian, mereka meninjau medan [Indonesia].”
Ia merujuk pada “rencana siaga pasukan khusus untuk memasuki Indonesia, Jakarta, Bandung, dst.”
Prabowo bilang, ia telah “membicarakannya [rencana invasi] secara singkat dengan mereka.”
Prabowo mengatakan: “rencana invasi AS untuk Indonesia bukan hal yang aneh. AS adalah negara adidaya dengan intel di mana-mana.”
Ia menggambarkan AS sebagai “kekuasaan yang lebih tinggi.”
Prabowo tepat ketika menyatakan bahwa Pentagon siap untuk menginvasi hampir tiap penjuru bumi.
Prabowo memberitahu saya sebuah buku yang baru dirilis waktu itu, “Special Forces: A Guided Tour of U.S. Army Special Forces” yang ditulis oleh Tom Clancy, orang kepercayaan Gedung Putih/Pentagon yang menyertakan, dalam istilah Prabowo, “sebuah skenario [invasi] Indonesia dengan bom atom.”
Prabowo memberitahu saya sebuah buku yang baru dirilis waktu itu, “Special Forces: A Guided Tour of U.S. Army Special Forces” yang ditulis oleh Tom Clancy, orang kepercayaan Gedung Putih/Pentagon yang menyertakan, dalam istilah Prabowo, “sebuah skenario [invasi] Indonesia dengan bom atom.”
Waktu itu saya tidak mencari tahu buku itu, tapi ketika saya membacanya belakangan, saya melihat bahwa Prabowo sedang membicarakan skenario dramatis (Clancy adalah seorang novelis tapi sebagian besar isi buku ini adalah non-fiksi; perwira militer AS senang berbicara dengan, serta membaca, Tom Clancy) yang menggambarkan invasi Pasukan Khusus AS setelah ledakan bom atom di kepulauan Maluku.
Ketika saya berbincang dengan Prabowo, pertengahan 2001, kemungkinan invasi ini tampak sangat kecil.
Terakhir kali AS diketahui memasuki Indonesia, tahun 1958 (operasi yang melibatkan pengeboman Indonesia oleh pilot-pilot CIA (ketika saya duduk di sekolah dasar AS, saya kebetulan kenal dengan anak salah satu pilot tersebut), Indonesia dipimpin oleh Sukarno yang merupakan musuh bebuyutan Washington.
Sukarno menghadang perusahaan-perusahaan asing dan seraya merangkul gagasan-gagasan pemberontak: hak-hak pekerja, kesejahteraan sosial, nasionalisme Indonesia dan negara Dunia Ketiga, serta Non-Blok. Cara berpikir macam ini tidak bisa diterima Washington, cara berpikir “komunis.” Ditambah lagi, Sukarno memberi keleluasaan bagi partai Komunis dan serikat tani untuk berorganisasi.
Pada tahun 1993 Ethel Kennedy, janda Bobby Kennedy, menceritakan kepada saya betapa “Bobby membenci orang itu, Sukarno.”
Terakhir kali AS diketahui memasuki Indonesia, tahun 1958 (operasi yang melibatkan pengeboman Indonesia oleh pilot-pilot CIA (ketika saya duduk di sekolah dasar AS, saya kebetulan kenal dengan anak salah satu pilot tersebut), Indonesia dipimpin oleh Sukarno yang merupakan musuh bebuyutan Washington.
Sukarno menghadang perusahaan-perusahaan asing dan seraya merangkul gagasan-gagasan pemberontak: hak-hak pekerja, kesejahteraan sosial, nasionalisme Indonesia dan negara Dunia Ketiga, serta Non-Blok. Cara berpikir macam ini tidak bisa diterima Washington, cara berpikir “komunis.” Ditambah lagi, Sukarno memberi keleluasaan bagi partai Komunis dan serikat tani untuk berorganisasi.
Pada tahun 1993 Ethel Kennedy, janda Bobby Kennedy, menceritakan kepada saya betapa “Bobby membenci orang itu, Sukarno.”
Bobby Kennedy adalah tangan kanan saudaranya, Presiden John F. Kennedy (1961-1963), dan rela repot-repot terbang ke Jakarta untuk menghadapi Sukarno secara langsung.
Tapi selepas Sukarno ceritanya lain lagi.
Mentor sekaligus mertua Prabowo, Jendral Suharto, sejak mulanya, adalah kaki tangan Washington.
AS mendukung serta menyambut baik Suharto dan ABRI ketika, setelah AS melangsungkan subversi selama lebih dari satu dekade, mereka berhasil menggulingkan Sukarno dan mengkonsolidasikan kekuasaan absolut melalui salah satu pembunuhan massal terbesar di abad ke-20.
Tapi selepas Sukarno ceritanya lain lagi.
Mentor sekaligus mertua Prabowo, Jendral Suharto, sejak mulanya, adalah kaki tangan Washington.
AS mendukung serta menyambut baik Suharto dan ABRI ketika, setelah AS melangsungkan subversi selama lebih dari satu dekade, mereka berhasil menggulingkan Sukarno dan mengkonsolidasikan kekuasaan absolut melalui salah satu pembunuhan massal terbesar di abad ke-20.
Lebih dari 400.000, bahkan satu juta, rakyat Indonesia dibantai. Media massa raksasa AS menyanjung operasi itu. Mereka menyebutnya sebagai “secercah cahaya di Asia” (The New York Times). CIA ikut berperan dengan memberi daftar lima ribu “orang komunis” untuk dieksekusi.
Suharto melakukan apa yang diinginkan Washington, lalu membawa masuk perusahaan-perusahaan AS—sebagian dengan petunjuk dari menteri ekonomi terkemuka dalam masa pemerintahannya, ayah dari Prabowo. Perusahaan-perusahaan inilah yang, melalui klan Prabowo serta veteran intel AS, mendirikan lobi USINDO untuk mengamankan kepentingan mereka di Indonesia sekaligus dukungan Pentagon pada TNI/ABRI.
Suharto “adalah orang kita,” ujar Gedung Putih periode Clinton pada The New York Times.
Maka, Washington tidak perlu menginvasi orang yang cocok dengan mereka, dan bahkan setelah Suharto tumbang, ABRI/TNI serta korporasi memiliki pengaruh yang sedemikian besar sehingga Jakarta tetap berada di kubu Washington.
Keadaan invasi siaga AS ketika saya berbincang dengan Prabowo, sejenis dengan sebuah diskusi antara saya besama perencana Departemen Pertahanan AS pada 14 Januari 1999. Selepas seminar sipil-militer Korps Marinir AS tentang Indonesia, pernyataan resmi bahwa perencanaan AS berpusat pada spekulasi skenario masa depan “Hukum Laut”, yang di dalamnya AS bisa saja memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan jika Indonesia mengubah haluan politik dan memutuskan untuk menolak praktek-praktek Washington yang berkenaan dengan pelayaran bebas di seantero kepulauan Indonesia.
Maka, Washington tidak perlu menginvasi orang yang cocok dengan mereka, dan bahkan setelah Suharto tumbang, ABRI/TNI serta korporasi memiliki pengaruh yang sedemikian besar sehingga Jakarta tetap berada di kubu Washington.
Keadaan invasi siaga AS ketika saya berbincang dengan Prabowo, sejenis dengan sebuah diskusi antara saya besama perencana Departemen Pertahanan AS pada 14 Januari 1999. Selepas seminar sipil-militer Korps Marinir AS tentang Indonesia, pernyataan resmi bahwa perencanaan AS berpusat pada spekulasi skenario masa depan “Hukum Laut”, yang di dalamnya AS bisa saja memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan jika Indonesia mengubah haluan politik dan memutuskan untuk menolak praktek-praktek Washington yang berkenaan dengan pelayaran bebas di seantero kepulauan Indonesia.
Dalam diskusi kami, baik saya maupun Prabowo, tidak membicarakan invasi itu sebagai kemungkinan yang nyata.
Namun dua bulan kemudian pada pertemuan kedua kami, serangan 11 September terjadi.
Selepas peristiwa itu, proposal serangan Pasukan Khusus AS ke Indonesia mulai dipresentasikan di Gedung Putih dan Camp David.
Gagasan dasarnya adalah menciptakan serangan dramatis sebagai pesan untuk dunia Muslim. Rencana itu melibatkan serangan bertubi-tubi pada Indonesia dan negara-negara lain.
Namun dua bulan kemudian pada pertemuan kedua kami, serangan 11 September terjadi.
Selepas peristiwa itu, proposal serangan Pasukan Khusus AS ke Indonesia mulai dipresentasikan di Gedung Putih dan Camp David.
Gagasan dasarnya adalah menciptakan serangan dramatis sebagai pesan untuk dunia Muslim. Rencana itu melibatkan serangan bertubi-tubi pada Indonesia dan negara-negara lain.
Hal ini diperjuangkan di level paling tinggi. Presiden George W. Bush turut terlibat. Kepala Staf Gedung Putih, Andrew Card dan Dick Cheney, wakil presiden, serta Donald Rumsfeld, Sekretaris Jendral Pertahanan, mendesak rencana ini.
Bob Woodward dari Washington Post mendokumentasikan hal ini. Ia mewawancarai peserta pertemuan dan memiliki akses pada arsip rahasia Gedung Putih.
Woodward menulis: “Kepala Staf Gedung Putih, Andrew Card, berkata kita harus mempertimbangkan tindakan terus-menerus di bagian-bagian dunia lain, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Yemen, atau Somalia. ‘Kalau Anda punya 15 tim SEAL yang menyerang 10 target yang berbeda pada hari yang sama, secara serentak di seluruh dunia, hal itu menjadi pesan bahwa kita sedang menjangkau dunia.’”
Belakangan, pada 9 Oktober 2001, dalam pertemuan pukul 1.00 pagi di Dewan Keamanan Nasional, wakil presiden Cheney “kembali pada pertanyaan berat yang sedang mereka susuri ... Indonesia, Filipina, serta Yemen berada di puncak daftar serangan anti-teror yang makin meluas.” Di Filipina, demikian Woodward, mereka punya Abu Sayyaf di dunia Muslim selatan sebagai salah satu kemungkinan target, dan “Di Indonesia, ekstrimis muslim ada di mana-mana.” (Bob Woodward, “Bush at War”, 2002, Simon & Schuster.
Rencana yang—menurut saya—jahat dan gila ini pada akhirnya ditinggalkan. Namun kalau itu tidak terjadi, rencana invasi Indonesia yang turut dirumuskan oleh Prabowo akan jadi sangat berguna bagi pendukung-pendukungnya di Washington.
Bob Woodward dari Washington Post mendokumentasikan hal ini. Ia mewawancarai peserta pertemuan dan memiliki akses pada arsip rahasia Gedung Putih.
Woodward menulis: “Kepala Staf Gedung Putih, Andrew Card, berkata kita harus mempertimbangkan tindakan terus-menerus di bagian-bagian dunia lain, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, Yemen, atau Somalia. ‘Kalau Anda punya 15 tim SEAL yang menyerang 10 target yang berbeda pada hari yang sama, secara serentak di seluruh dunia, hal itu menjadi pesan bahwa kita sedang menjangkau dunia.’”
Belakangan, pada 9 Oktober 2001, dalam pertemuan pukul 1.00 pagi di Dewan Keamanan Nasional, wakil presiden Cheney “kembali pada pertanyaan berat yang sedang mereka susuri ... Indonesia, Filipina, serta Yemen berada di puncak daftar serangan anti-teror yang makin meluas.” Di Filipina, demikian Woodward, mereka punya Abu Sayyaf di dunia Muslim selatan sebagai salah satu kemungkinan target, dan “Di Indonesia, ekstrimis muslim ada di mana-mana.” (Bob Woodward, “Bush at War”, 2002, Simon & Schuster.
Rencana yang—menurut saya—jahat dan gila ini pada akhirnya ditinggalkan. Namun kalau itu tidak terjadi, rencana invasi Indonesia yang turut dirumuskan oleh Prabowo akan jadi sangat berguna bagi pendukung-pendukungnya di Washington.
-----
Dokumen-dokumen JCET awalnya kami rilis pada Maret 1998, dan ditambah lagi oleh banyak pihak lainnya, beberapa dalam bentuk kertas kerja internal.
Dokumen-dokumen ini memperkuat klaim-klaim Prabowo pada saya bahwa, pertama, ia memegang peranan kunci membawa pasukan AS ke Indonesia, dan kedua, bahwa dengan melakukan hal tersebut, ia telah berjasa besar bagi Washington. Menariknya, kendati awalnya tingkat kerahasiaannya rendah atau nol, dalam dokumen-dokumen ini masih tertera acuan implisit ke rencana penyerbuan tersebut, sehingga menciptakan landasan bagi kemungkinan rencana penyerbuan singkat di masa mendatang.
Dokumen-dokumen tersebut juga menyingkap sejumlah informasi tambahan tentang apa yang dipikirkan Pentagon tentang Indonesia, dan tentang definisi AS yang sangat cair atas "pelanggaran HAM."
Pada akhirnya, dokumen-dokumen ini mengacu secara explisit ke dua operasi terselubung AS di Indonesia yang lahir dari kolaborasi Prabowo-JCET.
Pentagon menulis bahwa mereka telah "mendiskusikan aktivitas-aktivitas JCET [dengan] para perencana Indonesia yang berasal dari jajaran kekuasan tertinggi, termasuk komandan KOPASSUS," yang tidak lain adalah Jenderal Prabowo.
Dokumen Pentagon lainnya menyatakan: "Di awal pelaksanaan program JCET, sebagian besar kegiatan dilakukan bersama KOPASSUS karena sejumlah alasan. Yang terpenting, KOPASSUS [a.l. Prabowo] sangat ingin menggelar latihan besama dengan U.S. SOF [Pasukan Operasi Khusus] dan posisi mereka sebagai unit bergengsi memungkinkan mereka untuk mempersilakan Pasukan AS menggelar pelatihan di Indonesia. Mereka juga memiliki sumber daya berlimpah, memiliki akses ke area-area pelatihan, memiliki keterampilan khusus melatih kepentingan kepada SOF, dan kesediaan mereka membuat pelatihan bersama Pasukan AS di dalam negeri bisa diterima oleh unit-unit ABRI lainnya.”
Di bagian lain, terkait Kopassus/Prabowo, Pentagon menyatakan, "Strategi kami adalah mengintegrasikan sejumlah mitra pelatihan lainnya [unit-unit ABRI lainnya di luar Kopassus] dalam acara-acara pelatihan kami bila memungkinkan, secara hati-hati memanfaatkan akses yang disediakan oleh Kopassus," yakni Prabowo.
Juga, "Sesudah ‘kebekuan dipecahkan oleh KOPASSUS' berbagai macam upaya dilakukan guna memperluas kesatuan-kesatuan Indonesia terlibat dalam kegiatan JCET termasuk KOSTRAD, PUSDIKZI, KODIKLAT, SESKOAD, PUSSENIF, maupun kesatuan dari ALRI dan pasukan khusus AURI.”
Pada satu titik, kantor CINCPAC, komandan tertinggi Pasifik AS yang rutin berhubungan dengan Prabowo, menulis: "Di dalam tubuh ABRI, Kopassus memiliki pengaruh yang diperlukan untuk memulai pelatihan dengan AS (di saat unit lain baik bisa atau tidak bersedia) serta sumber daya untuk berkontribusi pada pelatihan ini. Kopassus membuka diri ..."
Mengenai sambutannya atas keterbukaan Kopassus tersebut, Pentagon menulis:
"Program JCET di Indonesia memiliki tujuan utama untuk menyediakan kesempatan pelatihan bagi A.S. SOF [Pasukan Operasi Khusus]... JCET mendampingi kita untuk memperoleh akses ke unit-unit dan para pimpinan Angkatan Bersenjata Indonesia. Secara progresif, JCET berorientasi pada pilihan-pilihan yang semakin banyak bagi US SOF untuk melatih tugas-tugas METL ... [dan melaksanakan] pelatihan di daerah-daerah yang baru atau tidak tersedia di dalam negeri. JCET berjanji meningkatkan inter-operabilitas dan penggunaan fasilitas pelatihan yang sangat baik untuk persenjataan maupun SOF dengan ‘melangkah’ di BATU RAJA dan SIABU RANGE [fasilitas ABRI]."
Langkah JCET-nya Prabowo dalam menyambut undangan tersebut memungkinkan pasukan khusus AS dan unit lain AS untuk--seperti yang dikatakan Prabowo kepada saya--"melakukan pengintaian, memeriksa medan", "berlatih untuk invasi siaga," dalam pelatihan yang diadakan di--menurut dokumen-dokumen itu--setidaknya di lokasi berikut ini, di luar Batu Raja dan Siabu Range: Jakarta, Bogor, Bandung, Surakarta, Serang, Ciampea dan Camara.
Dalam sebuah memo kepada Kongres yang merasa ditipu, Pentagon menulis: "Perlu diIngat bahwa tujuan utama dari pelatihan yang diatur dalam Pasal 2011 [yang digunakan untuk langkah pertama JCET ini] adalah meningkatkan kesiapan SOF AS. Keuntungan apapun yang didapat oleh negara tuan rumah [Indonesia] adalah konsekuensi dari keuntungan yang kita dapatkan.”
Dokumen-dokumen yang mengacu pada JCET memungkinkan Pasukan Khusus [AS] untuk bersiap-siap beraksi di Indonesia dan lingkungan serupa, karena pelatihan yang mereka terima dari ABRI selama aksi JCET RECONDO dalam hal-hal seperti "teknik bertahan hidup di hutan, tracking dan counter-tracking."
Mengenai apa yang mungkin mendorong AS menggunakan kaki Prabowo dalam membukakan pintu untuk benar-benar menyerang Indonesia, sebuah dokumen Pentagon untuk Kongres mengatakan, beberapa tahun sebelum kepanikan invasi terhadap Gedung Putih di tahun 2001: "JCET mendorong tingkat kepercayaan diri yang tinggi pada kemampuan SOF kami. Kepercayaan diri dan kekaguman ini nampaknya akan menyebabkan pengikutserataan SOF kami secara aktif dalam operasi apapun untuk melindungi warganegara dan kepemilikan AS, jika mereka terancam oleh teroris atau gerakan separatis di Indonesia."
Nampaknya masih sangat mustahil AS akan menyerang sekutu de facto-nya, Indonesia, namun jika serangan tersebut betul-betul dilakukan, mereka tinggal memanfaatkan hasil dari kerja-kerja yang telah dilakukan Prabowo untuk mereka.
-----
Pada satu titik, dalam tulisan yang ditujukan kepada Kongres, Pentagon mengatakan bahwa program JCET-nya di Indonesia "tidak melakukan pelatihan bersama perorangan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia." Tentu saja Pentagon mendirikan JCET dengan--dan berlatih bersama--Prabowo, yang artinya, dalam definisi AS, tindakan-tindakan "mengejutkan" yang dilakukan Prabowo (Gelbard) tidak cukup buruk untuk dikategorikan sebagai "pelanggaran hak asasi manusia."
Definisi "pelanggaran hak asasi manusia" sangat mengesankan jika dipandang dengan bagian-bagian lain dalam dokumen-dokumen tersebut. Mantan rekanan Prabowo, CINCPAC, menulis terkait "penculikan para aktivis politik ... Kami meyakini keterlibatan Letjen Prabowo, Mayjen Muchdi dan Kol. Chairawan [ini ditulis setelah Prabowo tersingkir dari kekuasaan]. Letjen Prabowo telah pensiun dan Mayjen Muchdi dan Kol. Chairawan telah dibebaskan dari semua tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka semua berada dalam komando unit-unit yang berpartisipasi dalam kegiatan JCET. "
Di bawah Hendropriyono, Muchdi kelak terlibat dalam pembunuhan Munir.
Pentagon tidak menyatakan tindakan apa saja yang dilakukan seorang anak didik AS sehingga dapat dipandang oleh AS sebagai "pelanggaran hak asasi manusia," tapi Pentagon nampaknya menunjukkan bahwa apa pun yang dilakukan klien AS seperti Prabowo, bukti-bukti yang bakal menyudutkannya tidak akan pernah dianggap memadai:
"Bukti kredibel pelanggaran HAM berat hanya diungkap setelah peristiwa Mei 1998 di Indonesia. Di wilayah ini, DATT [Bagian dari DIA yang khusus berhubungan dengan Prabowo dan Chairawan] mencatat bahwa, sebelum kejadian-kejadian tersebut, setiap kasus pelanggaran HAM yang dituduhkan pada DAO [lagi-lagi dari DIA] ditindaklanjuti tanpa terkecuali. Dalam tiap-tiap kasus, informasi yang tersedia tidak pernah lengkap. Sebelum Mei 1998, nama, penyebutan satuan, waktu dan/atau lokasi dugaan kasus pelanggaran HAM tidak tersedia dari sumber-sumber yang ada, sehingga membuat verifikasi mustahil dilakukan. Selama aktivitas JCET, tak pernah sekalipun kami menyadari bahwa kami telah melatih unit atau personil yang pernah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Sesungguhnya kami, melalui kinerja yang sangat baik dari SOF kami [Pasukan Operasi Khusus], memberikan contoh-contoh bagaimana Angkatan Bersenjata profesional bisa melakukan operasi militer dengan cara yang sesuai dengan ketentuan hukum."
Dengan pernyataan ini, nampaknya maksud Pentagon adalah: mempersenjatai, melatih dan melakukan kerja-kerja intelijen bersama pembunuh adalah baik dan diperbolehkan oleh hukum, asalkan bukan personil AS yang membidik korban secara langsung.
Pada satu titik, Pentagon menulis: "JCET memberikan contoh yang sangat sempurna tentang bagaimana tentara profesional seharusnya bersikap. Indonesia telah berusaha untuk meniru contoh tersebut ...." Di tempat bagian lain: "Para peserta JCET AS memberikan contoh pasukan profesional yang sangat terlatih dan menjunjung tinggi supremasi hukum; hal ini mendorong tuan rumah kami meniru kinerja mereka."
Pelibatan superioritas moral AS ini kerap muncul, lagi dan lagi. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Prabowo yang ditolak visanya merasa pahit.
-----
Akhirnya, dokumen-dokumen tersebut mencatat bahwa AS menjalankan--dengan selubung JCET--dua aktivitas rahasia di wilayah Indonesia, satu operasi di Tahun Anggaran (Fiscal Year) AS 1995, sementara operasi lainnya pada Tahun Anggaran AS 1996.
Pada Tahun Anggaran 1995: "Ada sebuah pengiriman SOF AS ke Indonesia secara rahasia. Dalam kegiatan ini, tiga personel AS SOF tidak melatih, atau menggelar latihan bersama, militer Indonesia. Pengiriman ini tidak ini tidak dituntaskan di bawah kewenangan Judul 10, Bagian 2011. Detil-detil informasi yang dirahasiakan rahasia tentang aktvitas yang terpisah ini akan disediakan, jika diminta, melalui jalur-jalur yang tepat."
Pada Tahun Anggaran 1996: "Ada sebuah pengiriman SOF AS ke Indonesia secara rahasia. Dalam kegiatan ini, delapan personil AS melakukan pelatihan, dan berlatih bersama, pasukan militer Indonesia. Pengiriman ini ini tidak dilakukan di bawah kewenangan Judul 10, Bagian 2011. Detil-detil informasi yang dirahasiakan rahasia tentang aktvitas yang terpisah ini akan disediakan, jika diminta, melalui jalur-jalur yang tepat. "
Meski mungkin tak dijawab, warga Indonesia bisa saja mengajukan permintaan dokumen rahasia tersebut.
Kedua “ops” tersebut dimungkinkan oleh kerja-kerja sang jenderal nasionalis, Prabowo.
-----
Akhir Bagian 2
Bagian 3 Akan Datang: Jenderal Prabowo, NSA, teror milisi, dan lainnya.
Link ke versi Bahasa Inggris
Link ke "Breaking News: Indonesian Special Forces, Intelligence, in Covert Operation to Influence Election"
Link ke "Breaking News: Operasi Rahasia Kopassus dan BIN Untuk Mempengaruhi Hasil Pemilu"
Link ke "Breaking News: Indonesian Special Forces, Intelligence, in Covert Operation to Influence Election"
Link ke "Breaking News: Operasi Rahasia Kopassus dan BIN Untuk Mempengaruhi Hasil Pemilu"
NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below. NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages. NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below. Email Me