Monday, February 9, 2015

Breaking News: Rekaman Wawancara Hendropriyono Tentang Perannya di Talangsari. Jenderal yang terlibat dalam pembantaian mengklaim para korban "bunuh diri," mengancam akan "menyerang rumah-rumah gubuk," dan bersedia diadili untuk kejahatan HAM

[Versi teks dari wawancara ini telah dimuat di sini pada 27 Oktober 2014 dengan judul: "Breaking News: Pengakuan 'Tanggungjawab Komando' Jenderal Hendropriyono dalam Pembunuhan Munir, Mengklaim Para Korban Talangsari 'Bunuh Diri,' Kesetujuannya Diadili untuk Pelanggaran HAM; dan Implikasi Hukumnya untuk As'ad, Wiranto, CIA."

Selasa, 10 Februari pukul 10:00 WIB, saya akan bersaksi di depan POLDA Metro Jaya, dalam kaitannya dengan kasus kriminal sang jenderal yang diajukan oleh para penyintas Talangsari beserta keluarga. 

Mereka berpendapat bahwa Jend. Hendro melakukan "pencemaran nama baik" ketika mengatakan kepada saya dalam wawancara ini bahwa para korban Talangsari--ratusan jumlahnya-- "melakukan bunuh diri" massal saat itu juga:]


Oleh Allan Nairn
Jakarta


Jenderal A.M. Hendropriyono, salah satu sosok orang kuat di Indonesia, mengakui "tanggungjawab komando" atas pembunuhan aktivis HAM terkemuka Indonesia. 

Dalam dua wawancara malam hari di rumahnya yang mewah pada 16 Oktober lalu, Hendropriyono melontarkan pernyataan-pernyataan yang kelihatannya bisa membuatnya diproses dan bakal menimbulkan masalah untuk CIA, TNI, dan Jokowi--presiden Indonesia yang baru.

Hendropriyono adalah penasehat kunci Jokowi, pemimpin inti TNI, dan sedang bekerjasama dengan CIA ketika badan Intelijen yang dipimpinnya (BIN) menghabisi nyawa Munir. 

Lebih detilnya, dalam perbincangan-perbincangan on the record itu, akhirnya Hendropriyono—mungkin tanpa sengaja—membiarkan dirinya larut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan

Pada saat wawancara selesai, praktis Hendro mengugurkan sejumlah pembelaan yang sudah lama sekali dipegang oleh dirinya dan TNI. Ia sepakat diadili untuk tiga kasus: pembunuhan Munir, kampanye terror 1999 yang mengluluhlantakkan Timor Timur (saat itu masih diduduki pasukan TNI), serta pembantaian Talangsari tahun 1989 yang memuatnya menyandang julukan "Jagal Lampung."

Hendropriyono pun akhirnya sepakat agar semua dokumen internal yang dipegang oleh pemerintah Indonesia dan AS terkait kasus-kasus tersebut dirilis. 

Dengan mengakui "tanggungjawab komando" dan membukakan jalan untuk fakta-fakta tertentu, Hendropriyono turut memberikan tekanan legal kepada dua orang--Wiranto, sang jenderal, dan As'ad, sang intel—yang kian melesat ke jantung politik Indonesia setelah dipromosikan untuk duduk di Kabinet Jokowi. 

Perjumpaan dengan Hendropriyono adalah hal yang tak saya perkirakan sebelumnya dan seringkali terasa ganjil. Sesi pertama pertemuan tersebut dimulai dengan sikapnya yang memuji-muji saya, dan berakhir dengan ucapan saya padanya bahwa saya berharap pembunuh Munir dihukum seumur hidup. 

Di sela-sela itu, obrolan yang berlangsung antara kami berdua tak jarang berliku. Saya akan memaparkannya dalam beberapa bagian.

----
Dari New York, saya menghubungi nomor ponsel Hendropriyono pada 14 Oktober. Saya ingin mendengar komentarnya langsung tentang perannya dalam pembantaian warga sipil. 

Sepanjang pemilu presiden Indonesia musim panas lalu—yang akhirnya dimenangkan Jokowi—berulangkali saya menyerukan agar Hendro diadili untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan. 

Akan tetapi, yang mendapatkan perhatian besar—seringkali bahkan diliput hingga ke detil-detilnya --adalah konfrontasi saya dengan Prabowo, lawan Jokowi. Saya pernah menerbitkan wawancara off the record di mana Prabowo bicara panjang lebar tentang kediktatoran fasis, tentang cara melakukan pembantaian, tentang upaya-upaya kerjasamanya yang luas dengan Pentagon/Intelijen AS. Dalam wawancara itu pula, dia menghina mantan presiden sekaligus ulama yang sangat dihormati, Gus Dur.

Prabowo menuntut supaya tentara menangkap saya. Ia menyebut saya pembohong, imperialis Amerika, "musuh negara," dan menyatakan—kali ini dengan tepat—bahwa sebanyak tujuh kali TNI telah menangkap saya, dan bahwa Suharto sudah melarang saya masuk ke Indonesia sebagai "ancaman terhadap keamanan nasional." Menanggapi Prabowo, TNI mengumumkan bahwa saya berstatus "Target Operasi (TO).”

Saya sendiri sudah menantang tentara untuk menangkap saya. Saya menantang Prabowo untuk mengajukan saya ke pengadilan. Terkait Imperialisme Amerika, saya menantang Prabowo untuk bergabung bersama saya mengutuk presiden dan para mantan presiden AS yang masih hidup supaya mereka diadili karena kasus-kasus kejahatan. Saya juga sempat menantang Prabowo untuk bersama-sama menyerukan agar raksasa tambang AS, Freeport McMoRan, didepak dari Indonesia. Prabowo mundur dari semua tantangan tersebut dan menjadi bahan olok-olok, hingga akhirnya—di hari terakhir kampanye—ia pun memperkarakan saya. Para asisten Prabowo kemudian menjelaskan bahwa perkara yang diajukan antara lain terkait dengan "memancing kebencian terhadap militer," yang kemudian bertambah lagi setelah hasil pemilihan keluar: "menyebabkan kekalahan Prabowo."

----

Dengan latar belakang inilah Hendropriyono, salah satu penopang kampanye Jokowi, menyarankan saya untuk bertemu langsung dengannya di Jakarta, alih-alih lewat telepon. Saya pun terbang ke Jakarta, dan beberapa jam setelah masuk ke wilayah Indonesia, saya tiba di pekarangan eksklusif milik Hendro di Senayan, Jakarta.

Sementara Hendro menemani utusan dari badan intelijen Malaysia, dan saya menunggu di ruang tamu, seorang anggota keluarga Hendro memberitahu saya bahwa sebelumnya Jokowi sudah menawarkan tiga jabatan menteri kepada Hendro, termasuk Menkolpokam, yang tidak lain adalah pos tertinggi untuk militer dan intelijen. Masih sehubungan dengan hal itu, pada hari yang sama, menantu Hendro, Jenderal Andika, baru saja diumumkan sebagai kepala Paspampres (pasukan pengawal kepresidenan) yang baru. Di dalam lemari kabinet di hadapan saya, terdapat foto Hendro bersama Jenderal Wiranto dan Sutiyoso, sementara di samping kanan foto Hendro dengan ajudan lamanya, Jendral Susilo yang di kemudian hari menjadi presiden. Di antara kedua foto tersebut, terdapat patung dada (bust) Napoleon--yang menurut seorang anggota keluarga merupakan tokoh kesukaan Hendro. 

----

Setelah mempersilakan saya masuk, Hendro memulai pembicaraan. Dia mengatakan bawah dirinya merasa "terhormat" bisa bertemu dan menyambut saya, karena saya telah menggembosi kampanye  Prabowo. Ia menerangkan bahwa Prabowo adalah seorang "totaliter."

Jawaban saya: saya menyerang semua jenderal, termasuk dirinya. Hendropriyono mengatakan dia tahu akan hal itu, dan kalau tidak keliru, lanjutnya, saya menyerangnya khusus terkait Talangsari. 
Saya mengangguk, tapi saya menambahkan: saya menyerangnya untuk banyak kasus, termasuk pembunuhan Munir dan teror di Timor tahun 1999.

Pertama-tama, Hendro ingin bicara tentang Talangsari. 

Menurut semua laporan—termasuk yang dituturkan Hendro pada saya, yang terjadi di Talangsari adalah banjir darah. Namun Hendro memulai ceritanya dengan mengatakan: “Tak ada cara lain, Allan Nairn.”

Ia mengatakan bahwa sebagai komandan resort militer (danrem), ia mengendalikan tentara dan Brimob, lalu masuk ke Talangsari untuk menghadapi kaum militan agama yang bersenjata “busur dan panah.”

Ia mengatakan, “Mereka bilang saya thogut. Thoghut artinya ekstremis yang akan selalu menghabisi kaum Muslim...”

Tentang perang antara senapan vs. panah itu, Hendro mengatakan, “Tentunya ... kami menang karena kami lebih kuat.”

Hendro mengatakan: “Kami mengepung gubuk-gubuk yang mereka bangun di dusun bersama warga. Tidak ada yang keluar (dari gubuk) karena dilarang oleh para tetua mereka, oleh pemimpin-pemimpin mereka... Saya katakan, ‘Kami akan menyerbu. Saya minta kalian keluar dari rumah dan menyerah.’”

Lalu pada satu waktu, dalam laporan Hendro—dan banyak laporan lainnya—pengepungan gubuk-gubuk itu menyulut api. 

Para penyintas dan saksi mata mengatakan bahwa orang-orang Hendro menyulut api, menempak dan menyiksa warga desa yang tak bersenjata.

Kesaksian mereka di depan Komnas HAM dan kelompok-kelompok HAM seperti Kontras (yang didirikan Munir) sangat terperinci. 

Namun saya terkejut: di saat kami tengah berbincang di rumah mewahnya di Jakarta, Hendropriyono mengatakan bahwa korban Talangsari sebetulnya melakukan bunuh diri.

“Tiba-tiba mereka bakar gubuk mereka sendiri. Itu yang bikin banyak orang mati,” katanya.

(Ia memperkirakan angka koran tewas sebesar 100 orang—mungkin 200—tak bersenjata dan ada banyak anak-anak dan perempuan di antaranya) 

[Audio: "Attack the Huts:"]


[Note: the recording time stamp icon is set on New York time]


Tidak percaya begitu saja, saya tanya dia, “Anda mengklaim mereka menghabisi diri mereka sendiri?”...

“Ya, mereka membakar... mereka membakar gubuk mereka.”

“Dengan kata lain, Anda mengatakan mereka bunuh diri.”

“Ya ...”

“Bunuh diri?”, kali ini saya bertanya dalam bahasa Indonesia. 

“Bunuh diri”, jawab Jenderal Hendropriyono dalam bahasa Indonesia pula.

Ia menunjukkan bahwa tindakan tersebut didorong oleh fanatisisme. 

Saya kembali ke pokok supaya lebih jelas:

“Jadi, bapak kata bahwa orang itu bunuh diri?” 

“Bunuh diri,” Hendro menjawab tegas.

[Audio: "Bunuh Diri:"]




Dan saya pun mengatakan:

"Saya yakin Anda tahu hal ini: ada banyak kesaksian langsung dari penyintas Talangsari yang diberikan ke Komnas HAM dan lembaga-lembaga lain yang mengatakan bahwa 100-200 korban itu dihabisi oleh pasukan Anda dalam sebuah pembantaian. Mengapa tidak dihadapi di pengadilan saja? Apa Anda sepakat untuk diadili dan menjelaskan argumen Anda di pengadilan seperti yang baru Anda lakukan di depan saya?"

"Yah, tentunya itu tidak benar," jawab Hendro seraya mengelak dari pertanyaan.

Saya katakan: "Anda bisa mengatakan itu di pengadilan. Anda bisa bilang itu ke hakim." 

Tapi sekali lagi, Hendro tak ingin menjawab. 

Dia malah mengalihkan pembicaraan. Dia mulai dengan serangan terhadap "organisasi-organisasi HAM Indonesia," yakni Kontras-nya Munir dan kelompok-kelompok serupa. 

Hendro mengatakan bahwa kelompok-kelompok HAM ini telah membayar saksi-saksi supaya dirinya "dikasuskan". Tuduhan ini ironis karena Hendro sendiri telah melakukan pembayaran ke saksi-saksi dengan tujuan--katanya pada saat itu--sedekah. Dan fakta ini sudah dilaporkan secara luas.

(Ketika saya menyebut uang pemberian Hendro di meja yang penuh dengan orang-orang Kontras, mereka terkejut--dan tertawa terbahak-bahak, "Kayak kita punya duit aja!" salah seorang berseloroh.) 

Namun hal yang paling mengganggu Hendro adalah fakta bahwa kelompok-kelompok HAM, termasuk Komnas HAM, sudah sepakat untuk mendengar kesaksian dari penyintas anak-anak Talangsari, atau lebih tepatnya, orang-orang yang masih di bawah umur ketika bencana itu terjadi.

Dia jelas gusar dengan fakta bahwa anak-anak yang kini masih hidup itu dianggap serius.

Mereka "[dulu] masih anak-anak," katanya. Mereka "tidak tahu apa yang sedang terjadi." 

Dalam kasus Talangsari, saksi anak-anak akhirnya memang dirujuk.

Tapi itu karena Hendro dan anak-anak buahnya membunuh orangtua mereka, menurut kelompok-kelompok HAM.  

Sebetulnya ada pula kesaksian dari para penyintas dewasa, dan kesaksian anak kapanpun sering digunakan untuk kasus-kasus semacam itu.

Pada tahun 2013 saya diminta untuk bersaksi dalam pengadilan genosida di Guatemala. Mantan diktator yang didukung AS, Jenderal Efrain Rios Montt, duduk di kursi pesakitan. 

Dalam kasus tersebut, kesaksian orang-orang yang masih kanak-kanak saat peristiwa terjadi, digunakan secara luas. Rios Montt didakwa melakukan pembunuhan massal berencana dan dijatuhi hukuman 80 tahun (oligarki kemudian membekukan kasus ini; sang jenderal tetap berada di tahanan rumah.) 

Jenderal Hendropriyono tidak ingin ada kesaksian semacam itu di sini.

----

Namun ketika megeluh tentang kesaksian yang melibatkan anak-anak itu, Jenderal Hendro nampaknya keceplosan.

Dia sendiri yang membuka kembali kemungkinan untuk menghadap pengadilan.

"Saya yakin, jika kita ingin ke pengadilan, pengadilan akan mencari saksi-saksi," katanya. Yang dia maksud adalah, pengadilan tidak akan menganggap penting anak-anak kecuali sebagai saksi palsu atau bayaran. 

Saya pun segera menanggapi: "Jadi ketika Anda bilang kasus ini harus diurus pengadilan, Anda harus diadili untuk Talangsari dan Anda tidak takut, Anda akan menerima itu? Anda bisa menerima kenyataan seandainya Anda disidang untuk kasus Talangsari?"

Hendro diam sejenak, bimbang, lalu bergumam: "Saya tidak bisa, mmm, Sepertinya saya sudah...."

Tak dinyana dia berkata: "Jika ada orang yang bukan saya--anggap saja Anda--kalau Anda jadi saya waktu itu, saya cukup yakin Anda akan melakukan hal yang sama."

"Tidak, saya tidak akan melakukan hal yang sama," saya jawab. "Saya tidak akan melakukan hal yang sama." 

"Apa yang akan Anda lakukan? Apa yang akan Anda lakukan jika Anda jadi saya waktu itu," sang jenderal mendesak. 

"Saya tidak akan bunuh orang," saya menjawab. Tapi saya ingin kembali ke pokok permasalahan:

"Tapi saya ingin memastikan bahwa saya paham apa yang Anda katakan. Saya hanya ingin mendapatkan pemahaman yang jelas tentang itu. Apa Anda bilang Anda siap diadili untuk Talangsari? Anda bersedia membela diri di pengadilan dan membawa bukti-bukti Anda?"

"Oh ya tentu saja!" jawab Hendropriyono.

Kelihatannya ada titik cerah di sini. 

Tapi saya ingin mengoreknya lagi, dan dia pun menghindar.

"Jadi, Anda bersedia diadili untuk Talangsari?"

"Kapan? Di jaman itu?," jawabnya.

Dia merujuk ke tahun 1989, saat pembantaian terjadi.

"Maksud saya sekarang," saya menjawab. "Waktu itu sudah berakhir. Saya bicara sekarang."

Tepat di titik ini, pembelaan emosional--dan hukum--Hendropriyono mulai kelihatan goyah.

"Segala sesuatu yang saya lakukan," katanya, "segala sesuatu yang mereka tuduhkan pada saya, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menerimanya. Saya akan mengadapinya." 

Titik cerah itu memang sungguh ada. Jenderal Hendropriyono menyatakan setuju untuk diadili. 

Setelah puluhan tahun TNI--dan Hendro-- membentengi diri dengan berbagai pembelaan dan alasan guna menghindari pengadilan, sang komandan jenderal--sekaligus mitra CIA--ini ternyata memberikan contoh untuk masa depan. 

"Karena segala sesuatu yang telah saya lakukan, saya bukan binatang, saya manusia," katanya.

"Dan Anda paham, saya bisa merasakan, saya punya anak, saya punya keluarga, dan saya bisa merasakan bagaimana perasaan mereka. Jadi bagi saya, saya bertanggung jawab atas segala yang sudah saya perbuat. Saya tidak akan menolak apapun. Saya mengerti maksud Anda. Jika saya diadili di pengadilan pelanggaran HAM, saya akan terima."

[Audio: Hendro Agrees to Stand Trial:]



----

Tarik-ulur Talangsari ini menciptakan pola perbincangan kami tentang kasus-kasus kekerasan lainnya: biasanya Hendropriyono akan sampai pada titik dimana ia menegaskan--kadang terdengar sangat tidak masuk akal--bahwa keberadaan mayat-mayat yang masih menjadi pertanyaan bukanlah murni kesalahannya; namun pada saat bersamaan, ia mengakui fakta bahwa akhirnya dialah yang berwenang, dan bahwa mengadili seorang jenderal senior seperti dirinya untuk kasus pembunuhan adalah tindakan yang tepat.

Persetujuan ini amat penting dan membuka banyak jalan.
Gaungnya akan sangat signifikan untuk perbincangan kami selanjutnya terkait Munir. 

Dan efeknya tidak hanya berlaku untuk Hendro, tapi juga untuk BIN, As'ad, dan CIA. 




NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below. NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages. NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below. Email Me