April 15, 2019
Oleh Allan Nairn
Jakarta
Oleh Allan Nairn
Jakarta
Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal yang sekarang sedang mengincar jabatan presiden Indonesia telah menyusun rencana untuk melakukan penangkapan massal baik terhadap lawan-lawan politik maupun para sekutunya hari ini.
Menurut notulensi rapat strategis yang digelar Prabowo bersama rekan-rekan jenderal lingkaran dalamnya dan sejumlah orang lainnya yang tergabung dalam tim inti pada akhir Desember 2018, Prabowo--seorang 'anak didik' Amerika Serikat yang telah lama terlibat dalam kasus pembunuhan massal, penculikan, dan penyiksaan, juga berencana mengembalikan Angkatan Darat Indonesia ke posisinya seperti di era kediktatoran Suharto.
[For full scrollable text of Notulensi Rapat see link, and bottom of this piece]
Menurut notulensi rapat tersebut, Prabowo--yang pernah berbicara ngalor-ngidul di hadapan saya tentang upaya merebut kekuasaan dan soal "[dijuluki] diktator fasis"--rupanya telah mempersiapkan "Malam Belati Panjang" (Night of the Long Knives) versinya sendiri, untuk mengonsolidasikan kekuasaan di tangannya sekaligus menjilat Washington.
Dalam pertemuan yang diadakan pada 21 Desember 2018 di kediaman Prabowo di Kebayoran Baru, Jakarta, Prabowo dan dan tim membuat penugasan-penugasan khusus tak hanya untuk "mengadili sebanyak-banyaknya lawan politik," tapi juga "melumpuhkan" kelompok-kelompok Islamis yang kini menyokong kampanyenya. Rencana ini akan dilaksanakan setelah Prabowo menjabat presiden.
Selama ini Prabowo berkampanye melawan apa yang dikecamnya sebagai "antek asing". Namun notulensi rapat menyebutkan ia diam-diam berjanji untuk "bekerja sama dengan Amerika Serikat" dengan cara "menangkap ulama-ulama radikal" dan "serdadu-serdadu [Islamis]" yang membantunya berkampanye saat ini.
Meski ihwal besar yang diserang dalam kampanye Prabowo adalah perampasan kekayaan nasional oleh asing, di belakang layar Prabowo telah campur tangan--seperti yang dikatakan wakil ketua partainya kepada saya--untuk menyokong aktor utama perampas kekayaan itu, yakni Freeport-McMoRan, perusahaan tambang raksasa asal AS.
—-
Freeport--beserta tambang emas dan tembaganya yang telah menduduki Papua secara de facto--telah berulang kali kepergok menyuap pejabat dan satuan-satuan militer serupa Kopassus-nya Prabowo. Freeport juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia melaporkan kerusakan ini diperkirakan mencapai Papua Barat, sebuah wilayah pendudukan secara de-facto. Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia pada 2017 memperkirakan kerusakan akibat kerusakan lingkungan ini mencapai $13 miliar.
Beberapa tahun belakangan, perusahan yang beroperasi secara global itu dikendalikan oleh kawan Presiden Donald Trump, Carl Icahn.
Lawan Prabowo yang berasal dari kalangan sipil, President Joko Widodo (Jokowi), belakangan sebagian menasionalisasikan Freeport--sebuah langkah yang disikapi dengan keberatan oleh AS.
Namun, dalam sebuah wawancara on-the-record, wakil ketua Gerindra memberi tahu saya bahwa Prabowo--secara diam-diam--telah ikut campur atas nama Freeport.
"Artinya dia tidak anti-asing itu," kata Waketum Gerindra Arief Poyuono menekankan sikap Prabowo kepada saya. Ia menyatakan Prabowo "marah" dan ikut campur dalam kapasitas pribadi untuk menggagalkan gugatan para pekerja Freeport melawan Freeport. Gugatan ini diajukan ke pengadilan oleh Poyuono.
Menurut pengakuan Poyuono, setelah terjadi sebuah kecelakaan kerja di Freeport, Poyuono bertindak dalam kapasitasnya sebagai pimpinan sebuah serikat buruh untuk mengajukan gugatan hukum tanpa berkonsultasi dengan Prabowo. Tapi setelah Prabowo mengetahui hal itu, Poyuono menarik gugatan tersebut. "Saya cabut," katanya.
"Prabowo marah sama saya," kata Poyuono. "'Eh, Jangan,' katanya, 'itu nggak boleh,' kata Poyuono menirukan Prabowo. 'Jangan begitu, mereka [Freeport] sudah investasi banyak!'"
Poyuono menambahkan pandangan Prabowo terhadap Freeport "sangat positif" dan mengatakan bahwa Prabowo menganggap nasionalisasi parsial Freeport oleh Jokowi sebagai langkah yang "terlalu kasar".
Poyuono adalah satu dari tiga orang sipil yang disebut-sebut hadir dalam rapat strategis di rumah Prabowo pada 21 Desember.
Selain Prabowo, ada enam purnawirawan jenderal dan tiga purnawirawan laksamana yang hadir dalam rapat tersebut.
Di antara perwira yang datang, ada Glenny Kairupan dan Yunus Yosfiah yang masing-masing terlibat dalam teror bumihangus dan pembantaian massal pasca-referendum Timor Timur yang diadakan PBB dan pembunuhan lima jurnalis Australia dan Selandia Baru (peristiwa Balibo).
Pernyataan-pernyataan Poyuono kepada saya saya tentang Prabowo dan Freeport--juga tentang Prabowo dan Trump, (Poyuono mengaku Prabowo telah mencoba bertemu Trump dan memujinya "bagus", serta menggunakan taktik kampanye Trump)--konsisten dengan pokok-pokok berulang (repeated allusions) dalam catatan rapat yang mengacu pada hasrat Prabowo untuk menyenangkan Washington--sebuah niat yang berada di urutan kedua setelah keinginan Prabowo menyingkirkan lawan-lawannya.
Meskipun Prabowo baru-baru ini bersumpah di muka publik tidak akan menggunakan kekuatan koersif negara untuk kepentingan politiknya sendiri, catatan rapat strategis tertutup justru menggambarkan rencana-rencana detail Prabowo untuk memanfaatkan negara demi kepentingan politik pribadi.
Mandat untuk "mengadili sebanyak-banyaknya lawan politik" akan diserahkan kepada Jaksa Agung baru Prabowo (partai-partai yang disasar adalah yang anti-Prabowo dan pro-Jokowi: PDIP, Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP) dan nampaknya juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kelihatannya independen. Dalam catatan rapat tersebut, tiga pimpinan KPK saat ini ditulis akan "diserang" dan "dijatuhkan" sebagai" target utama dalam operasi pengendalian KPK."
Secara terselubung, ada "agenda penyerangan terhadap lawan politik" yang akan dilancarkan oleh BIN (Badan Intelijen Negara)--mitra CIA di Indonesia yang mungkin dikenal karena telah meracuni dan membunuh pahlawan HAM sekaligus teman saya, Munir, pada 2004. (Pembunuhan ini diperintahkan oleh seorang jenderal, Hendropriyono, yang kini menjadi penasihat Jokowi).
Begitu Prabowo mengambil alih kekuasaan, cara-cara ekstra-legal BIN akan digunakan untuk menghadapi koalisi partai-partai yang sekarang berkampanye untuk Prabowo, tentu dengan Gerindra (partai politik Prabowo) sebagai pengecualian.
Salah satu dari sekian target adalah pimpinan Partai Demokrat Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang mantan presiden yang turut memecat Prabowo dari Angkatan Darat setelah kejatuhan Suharto. Selama kampanye tahun ini, SBY terlihat hangat-hangat kuku mendukung Prabowo. Dalam sebuah surat pribadi yang bocor, SBY mengkritik rencana kampanye besar-besaran Prabowo sebagai tindakan yang memecah belah.
Seperti yang telah terjadi, rapat strategis Desember 2018--menurut notulensi rapat--dimulai begitu Prabowo pulang dari acara pertemuan dengan SBY di Jakarta.
Notulensi rapat menyatakan: "Tugas lain dari BIN nanti adalah melemahkan partai koalisi untuk meningkatkan dominasi Gerindra dalam pemerintahan: PKS dan Partai Demokrat akan digembosi habis-habisan melalui berbgai kasus Korupsi lama dan yang baru. Para petinggi partai akan dipenjara karena korupsi. Dengan begitu, Prabowo tampak sebagai presiden yang kuat dan tegas dalam menegakkan hukum."
Pemenjaraan politik ini akan diperintahkan jauh-jauh hari sebelum ada fakta, sebelum bukti-bukti dikumpulkan, sebelum pengadilan digelar. Penugasan ini hanya dilakukan untuk kasus korupsi baik sungguhan maupun baru dugaan, bukan untuk kasus pembunuhan massal, penyiksaan, atau pelanggaran HAM berat lainnya.
BIN di bawah kekuasaan Prabowo juga akan ditugaskan untuk "melumpuhkan kelompok HTI [yang telah dilarang oleh pemerintah karena dianggap sebagai ancaman negara dan keselamatan publik], FPI [organisasi yang awalnya dicetuskan oleh tentara dan polisi sebagai "preman" untuk menyerang aktivis pro-demokrasi], JAD, dan [kelompok-kelompok] yang setara dengan itu." Kerja-kerja ini akan mengiringi tugas POLRI untuk "melemahkan gerakan HTI dan FPI; menangkap ulama-ulama radikal untuk menunjukkan pada Amerika dan sekutu bahwa Prabowo-Sandi tegas mengatasi radikalisme dan terorisme di Asia Tenggara.
Mungkin inilah aspek yang paling kontroversial secara politis dari rencana tersebut, karena HTI, FPI, PKS, kelompok-kelompok serupa, dan "ulama-ulama radikal" adalah motor di balik kampanye akar rumput Prabowo.
Dan Prabowo--yang mengampanyekan dirinya sebagai musuh bebuyutan "antek-antek asing"--secara eksplisit menarget organisasi Islamis dan "ulama radikal" demi Amerika Serikat:
Dalam pertemuan itu, "Dikabarkan juga, pada pertengahan Desember 2018, Prabowo Subianto sempat diundang oleh Dubes Amerika untuk Indonesia bertemu di kediaman Dubes Joseph R. Donovan, Jr. Selain membicarakan perang dagang Cina-AS, keduanya membahas komitmen Indonesia melawan terorisme ke depan. Prabowo berjanji akan mendukung penuh AS dalam memerangi kelompok radikal dan teroris di Indonesia.”
Tentang upaya Prabowo mendekati AS, notulensi itu memaparkan: "jika terpilih sebagai presiden, langkah awal yang dilakukannya [Prabowo] adalah menghancurkan radikalisme di Indonesia"--sebuah komitmen penting bagi seorang kandidat yang dalam pawai terbesarnya berkampanye bersama pimpinan FPI (melalui streaming video dari Arab Saudi); seorang kandidat yang dalam salah satu video viraalnya terlihat memberi hormat di hadapan khalayak dari atap limusin yang disediakan oleh seseorang yang mengaku sebagai "Presiden ISIS Indonesia" dan mengirim kombatan-kombatan Indonesia ke Irak dan Suriah.
Salah satu alasan kenapa rapat strategis itu diadakan adalah (selain merencanakan "balas dendam politik") "untuk menentukan langkah konkrit menghadapi sejumlah isu strategis seperti tuduhan Prabowo-Sandi mendukung Khilafah... Seperti diketahui, Prabowo, sampai saat ini, belum menyatakan sikap tegas apakah mendukung atau menentang Kelompok HTI, FPI, dan kelompok lain yang mendukung berdirinya Khilafah di Indonesia. Prabowo sengaja diam karena ia ingin menjadikan mereka serdadu [untuk] memenangkan pertempuran politik 2019."
Tetapi Prabowo dan "orang-orang inti dari lingkaran dalam"--notulensi menyebutkan nama enam jenderal yang hadir, tiga laksamana, tiga agen (operative) sipil, namun tidak ada tokoh Islamis--mengambil keputusan yang jelas untuk mengorbankan 'serdadu-serdadunya' begitu pertempuran berakhir.
Tentang apa yang terlihat seperti imbalan politik yang dilebih-lebihkan untuk untuk pengkhianatan ini, notulensi rapat menyatakan Prabowo "berjanji bekerjasama dengan Amerika Serikat, Singapura, dan Australia yang konon saat ini sudah memberikan sinyal dukungan terhadap pasangan Prabowo-Sandi."
Mungkin ini berlaku pada Singapura, namun nampaknya tak demikian bagi AS. Kedutaan Besar AS di Jakarta belum menanggapi permintaan saya untuk memberikan komentar.
Catatan rapat strategis yang berjudul "NOTULENSI RAPAT TERTUTUP PRABOWO SUBIANTO DAN TIM," ini telah beredar secara terbatas di lingkaran aparat keamanan termasuk BIN, dan telah sampai baik ke tangan para pejabat yang loyal kepada Presiden Jokowi maupun pejabat-pejabat lain yang mendukung Prabowo.
Karena telah diidentifikasi sebagai informasi yang diterima "dari 'orang dalam' Prabowo-Sandi", informasi ini tampaknya tidak digunakan secara politis, karena dipandang bermasalah bagi kedua kubu pendukung.
Akan memalukan bagi kubu pendukung Jokowi untuk mengakui bahwa mereka memata-matai Prabowo, sebagaimana yang pernah dituduhkan oleh Prabowo sendiri. Notulensi ini juga melemahkan narasi sejumlah pihak di kubu Jokowi bahwa Prabowo adalah seorang Islamis ekstremis, berkebalikan dengan yang telah ditunjukkan oleh karirnya--dan oleh dokumen ini--sebagai orangnya Suharto, Angkatan Darat, Washington, dan seorang pendukung kediktatoran yang masih berambisi mengejar kekuasaan mutlak.
Bagi kubu pendukung Prabowo, notulensi ini melemahkan klaim Prabowo sendiri karena di situ disebutkan bahwa Prabowo bekerja--bukan melawan--pihak asing, dan pada akhirnya secara eksplisit berencana menjadikan dirinya satu-satunya pemimpin yang berdiri tegak dengan cara merepresi orang Indonesia dari semua kubu.
Berangkat dari sana, rapat strategis tersebut membahas kediktatoran Orde Baru yang dipimpin oleh bekas mertua Prabowo, Soeharto.
Sesuai saran AS, Suharto menggunakan tentara untuk mengkudeta bapak pendiri bangsa Indonesia, Sukarno, dan mengkonsolidasikan kekuasaan melalui pembantaian 1965 yang menewaskan 400.000 hingga satu juta warga sipil. Pembantaian ini didukung oleh AS.
Disokong oleh uang, senjata, dan pelatihan dari AS--banyak dari pelatihan Angkata Darat yang difasilitasi Prabowo--Suharto berhasil menjaga rezim yang membuatnya berkuasa selama lebih dari tiga dekade hingga ia dilengser dalam pergolakan pro-demokrasi yang juga menyebabkan kejatuhan Prabowo. Kejatuhan Prabowo sendiri bermula setelah AS mencampakkannya begitu ia kalah dalam perebutan kekuasaan dengan saingannya, Jenderal Wiranto. (Sebelumnya Prabowo mengatakan kepada saya bahwa dirinya adalah "anak kesayangan Amerika.")
Di bawah Orde Barunya Suharto, para penyintas dan keturunan mereka dipenjara, dilarang beraktivitas politik, dan digambarkan bak iblis. Sementara Angkatan Darat--yang terus melakukan pembunuhan, seperti yang masih terjadi sampai sekarang khususnya di Papua--menjadi sangat kaya dan berkuasa atas kehidupan politik hingga tingkat desa.
Dalam rapat Desember tersebut, Prabowo dan tim mengusulkan--dalam artian tertentu--untuk kembali menghidupkan Orde Baru.
Mereka memutuskan: "Peran Angkatan Darat akan diperkuat seperti pada jaman Orde Baru"), sebuah usulan luar biasa mengingat kekuasaan--dan impunitas--yang telah dimiliki Angkatan Darat hari ini.
Jika dibandingkan dengan para perwira manapun, mungkin Prabowo terlibat dalam lebih banyak tindaak kekerasan termasuk penyiksaan langsung di Timor Timur, teror anti-Cina di Jakarta 1998, penculikan dan eksekusi para aktivis di Jakarta, operasi pembunuhan massal di Aceh, pembantaian "beberapa ratus" warga sipil di Kraras 1983 pembantaian, dan sebuah operasi di Papua di mana orang-orang Prabowo menyamar sebagai Palang Merah Internasional untuk menembaki warga sipil dengan senapan mesin dari sebuah helikopter.
Namun, terlepas dari tuntutan para penyintas yang gigih dan berani, Prabowo, sebagai seorang jenderal, belum juga tersentuh hukum.
Dia cukup merasa aman ketika berbicara kepada saya (yang notabene lawannya) pada 2001 tentang sebuah pembantaian (pada 12 November 1991, di pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur--saya selamat dari pembantaian ini) sampai-sampai ia mengkritik teknik rekan-rekannya: “Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional,” katanya. “Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibukota provinsi!”. Sekali lagi, yang dikritik oleh Prabowo adalah teknik rekan-rekannya, bukan pembantaian terbuka atas 271 warga sipil di Santa Cruz.
Jokowi, seorang petahana sipil, sangat takut pada Angkatan Darat sampai-sampai ia tak menepati janji untuk memprosekusi para pelaku pelanggaran HAM dan membiarkan tentara memegang posisi penting di dalam timnya. Ia membiarkan orang-orang ini--beserta kolega-kolega TNI-nya, intel, dan polisi--untuk perlahan-lahan meraih kembali privilese yang mereka miliki selama era Orde Baru.
Fakta tersebut sangat mengecewakan banyak penyintas dan aktivis sehingga dalam pemilu ini mereka bersumpah untuk golput.
Tak diragukan lagi, hal ini disambut Prabowo dan orang-orangnya. Ia telah membunuh orang-orang dicintai dan dihormati oleh para penyintas dan aktivis. Tapi dengan golput, mereka mungkin memusulkan Prabowo untuk menang.
——
Menurut notulensi rapat, orang yang ditugaskan mengawali proses pengembalian tentara ke kedudukannya seperti di zaman Orde Baru adalah Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan panglima TNI--setelah berbulan-bulan jabatannya ditinjau ulang oleh presiden--yang akhirnya diberhentikan oleh Jokowi.
Jenderal Gatot secara terbuka mendukung teori "Proxy Wars" yang menempatkan aktivis, pembangkang, gerakan sosial di Indonesia--dan kaum LGBT--sebagai agen asing.
Setelah meninggalkan jabatannya di TNI, Gatot menyatakan netral secara politik. Namun, minggu lalu ia secara terbuka menyatakan dukungan untuk Prabowo.
---
Notulensi Rapat Tertutup Pr... by on Scribd
Link ke versi Bahasa Inggris
NOTE TO READERS: News and Comment is looking for assistance with translating blog postings into other languages, and also with fund raising and distributing the blog content more widely. Those interested please get in touch via the e-mail link below. NOTE TO READERS RE. TRANSLATION: Portions of News and Comment are now available in Arabic, Brazilian Portuguese, Danish, French, German, Russian and Spanish translation (click preceding links or Profile link above) but translation help is still needed -- particularly with older postings, in these and all other languages. NOTE TO READERS RE. POTENTIAL EVIDENCE: News and Comment is looking for public and private documents and first-hand information that could develop into evidence regarding war crimes or crimes against humanity by officials. Please forward material via the email link below. Email Me